Keajaiban kembali terjadi hari ini. Ucapan syukur dan terimakasih terus kuucap dalam hati, untuk Allah sang pembelok-balik hati. Terimakasih, Ya Allah.. Engkau pertemuan kembali aku Dan Rai, disini, di institusi ini.
Aku yakin semua yang terjadi bukan tanpa alasan. Duhai Engkau yang Maha Mengetahui, bahkan tidak akan sehelai daun-pun jatuh tanpa pengetahuan-Mu. Terimakasih, meski untuk sesaat, kau pertemukan aku lagi. Dengan ia yang aku rundui. Terimakasih.
Bibirku kembali membentuk seulas senyuman. Kejadian itu, setelah Rai (Lagi-lagi) pergi Dan menghilang tanpa kabar Dan kepastian, ia datang. Kedatangan yang bahkan tak pernah sekalipun aku sangka-sangka.
Aku mengingatnya dengan sangat jelas. Saat itu sore hari di Kota hujan ini. Nada dering ponselku terasa mengusik sedikit ketenangan yang aku rasakan. Aku yang baru saja selesai Mandi, merasa enggan mengangkat telepon masuk itu. Aku melirik sekilas jam dipergelangan tangan kiriku. Sudah mau jam 4. Aku harus siap-siap! Rutukku dalam hati. Aku putuskan untuk tidak mengangkat panggilan yang masuk ke nomor di ponselku, sampai deringnya berhenti sendiri. Aku memakai baju biruku setelah selesai berkutat dengan celana hitamku yang longgar. Celana yang harusnya dikenakan oleh laki-laki ini, membuatku tertarik. Bahanya tebal, nyaman Dan tidak terlalu ketat, namun tetap memberikan kesan rapi.
Aku baru saja hendak memoleskan bedak ke permukaan wajahku, sampai suara lembut maudy ayunda kembali terdengar sebagai nada dering ponselku. Sekilas, aku melirik ponselku. Terlihat sederet angka yang belum tersimpan didalam contact di ponselku. Nomor yang sama dengan nomor yang sebelumnya juga menelponku. Siapa? Diam-diam terselip rasa penasaran dibenakku. Dengan enggan, aku meletakkan bedak di tanganku ke atas meja, kemudian duduk manis di kasur, mengangkat panggilan yang sedari tadi mengganggu.
"Halo?" Ucapku, dengan nada bertanya.
"Halo.. Assalamu'alaikum."
Deg!
Aku mengenali suara ini, tapi- apa mungkin itu dia?
"Wa'alaikumussalam.." Jawabku pelan. Aku ingin bertanya siapa yang sedang menelponku saat ini? Tapi tidak ada suara yang keluar Dari pita suaraku. Tidak ada kata yang terlontar Dari mulutku.
"Ini Arin, kan?" Terdengar suara diseberang, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
"Iya.." Jawabku, pendek.
"Rin, ini Rai." Ucapnya.
Jantungku berpacu, perasaanku tidak menentu. Firasatku tepat. Suara itu memang tidak pernah berubah. Rai? Tapi untuk apa? Bukankah dia yang memutuskan untuk pergi menjauh? Bukankah ia yang memilih untuk menghilang tanpa jejak? Tapi kenapa?--
"Kamu lagi di kampus, nggak?" Tanya Rai, mengusik pikiranku.
"Kita bisa ketemu?" Lanjutnya. Ketemu? Aku tidak mengerti. Bagaimana kita bisa bertemu jika saat ini aku ada di asrama, kampusku, Sedangkan dia--
"Aku lagi di kampus kamu." Ucap Rai, seakan membuntukan pikiranku. Jantung ini berpacu semakin tidak terkendali. Tenang, Arin.. Tenang.. Ucapku, dalam hati. Berusaha menenangkan diriku sendiri.
"Ya udah.." Ucapku, setelahnya. Entah apa yang aku pikirkan. Seakan ada tarikan yang kuat untuk bisa bertemu dengannya, meski sisi lain dalam diriku berteriak, memberontak. Rai. Laki-laki yang selalu berhasil memporak-porandakan hatiku. Mempermainkan perasaannya, kemudian pergi tanpa kabar Dan berita.
Sambungan telepon terputus setelah kami saling mengucap Dan menjawab salam. Aku bisa merasakan pipiku memanas. Bahagia? Mungkin. Sudah hampir satu tahun aku tidak bertemu dengannya, atau mungkin lebih? Dan sekarang ia mengajakku bertemu. Sungguh, aku merasa sangat bahagia. Tidak bisa aku pungkiri kebenaran hal tersebut. Tapi disisi lain hatiku memberontak! Rasa sakit itu masih terasa, luka itu masih lebar menganga. Dalam sekali torehan luka yang ia berikan, aku sadar hal itu. Tapi, tidak bisakah luka itu aku sembunyikan? Toh lambat laun ia akan mengering Dan hilang. Satu hal yang sangat ingin aku lakukan hanyalah menemuinya. Menjumpai senyuman dingin nan manis Dari bibirnya, serta merasakan kerasnya debaran jantung setiap Kali didekatnya.
Biarlah luka ini aku yang tahu. Biarlah sakit ini aku yang rasa. Serta, biarlah ia melihatku tersenyum penuh cahaya, tanpa perlu mengetahui sisi gelap dibaliknya. Biarlah..
Aku berjalan diantara lebatnya pepohanan, diatas jalan kecil yang penuh bebatuan. Sakit memang, mulanya. Tapi kau tidak akan tahu bagaimana khasiat kesehatan yang kelak kau dapatkan. Batuan refleksi, yang hampir setiap pagi kutapaki ini, tidak lagi terasa menyakitkan dikaki. Ditambah dengan rasa bahagia yang kian membuncah, membuatku tidak bisa merasakan apaoun, kecuali kebahagiaan.
Rai. Laki-laki itu disana. Diujung jalan, didekat masjid megah didalam kampusku. Al-Hurriyah, itulah nama masjid unik yang kini menjadi saksi bisu pertemuan kami. Ini terasa seperti mimpi.
"Hai.." Sapaan pertama yang aku dengar Dari mulut Rai, sejak terakhir kami berjumpa. Aku menjawabnya dengan senyum yang mengulum. Aku masih belum berdamai dengan sisi gelapku. Masih ada pertarungan sengit didalam kalbu. Siapa yang akan menang? Entahlah.. Mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Tanpa banyak bicara Dan aba-aba, aku Dan Rai berjalan bersisian. Masih dibawah lebatnya pepohanan Dan diatas jalan yang penuh bebatuan. Diam, seakan satu-satunya hal yang bisa kami lakukan.
"Apa kabar, Rin?" Rai angkat bicara, memecah sepi yang sedari tadi menghantui.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik." Jawabku, sedatar mungkin.
"Gimana--"
"Kalo ka--"
Tanpa sengaja kami berbicara bersamaan. Memecah tawa yang sedari tadi seperti enggan keluar.
"Kamu duluan--" lagi-lagi kami berbicara bersamaan, kini bahkan dengan perkataan yang sama. Kembali tawa itu terdengar Dari mulut kami. Aku memilih diam, mengalah, membiarkan Rai menyelesaikan perkataannya.
"Ehm.." Rai berdehem pelan, tapi masih bisa aku dengar.
"Gimana rasanya jadi mahasiswa?" Ucap Rai, setelahnya. Aku tersenyum singkat, sambil membayangkan tugasku yang tidak kunjung selesai.
"Menyenangkan." Jawabku, dalam arti yang berbeda. Tidak ada tanggapan Dari Rai setelahnya.
"Kamu sendiri? Gimana rasanya nambah jatah SMA?" Tanyaku, mencoba mengusir rasa awkward.
"Biasa aja.." Jawabnya. Setelah itu, sepi kembali menyapa.
Maa Sya Allah.. Kenapa selalu seperti ini yang terjadi jika apa bersama dengan Rai. Aku tahu aku bukanlah orang yang pandai memulai perbincangan. Tapi aku selalu bisa menanggapi pertanyaan orang lain dengan baik, sehingga setelahnya kami bisa berbincang-bincang dengan nyaman.
"Kamu mau pergi?" Tanya Rai. Matanya sekilas tertuju pada tas putih yang tersampir di bahu kiriku.
"Iya.. Ada kumpul Gravitasi." Jawabku, tanpa memedulikan tatapan bertanya Dari sorot mata Rai.
"Gravitasi?" Rai mengernyit, mendengar jawaban yang (mungkin) terdengar ganjil di telinganya.
"Iya.. Itu nama club, gitu." Jawabku, sambil memandang matanya Dan tersenyum. Kerutan diantara kedua alis Rai sedikit mengendur.
"Club apa?" Tanyanya, lagi.
"Fotografi dan videografi. Tapi aku milih fokus fotografi." Jelasku. Rai ber-"ooh" Dan mengangguk secara bersamaan. Dan aku? Aku tersenyum, sambil memandang wajahnya yang menatap lurus ke depan.
"Kamu suka fotografi?" Tanyanya, yang menurutku seperti pertanyaan yang tidak harus dijawab. Tapi tidak. Aku menjawabnya.
"Yup." Ucapku, sambil (lagi-lagi) tersenyum. Setelahnya, percakapan kami membaik. Rai menceritakan temannya yang pandai di bidang fotografi, menceritakan kehidupan asramanya, Dan lain-lain sebagainya. Aku hanya memberikan tanggapan pendek seperti "ooh.." "Wow" ataupun "ya.. Ya.." Tanpa sedikitpun bermaksud mengacuhkannya. Sungguh, hari ini aku merasakan Bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan.
"Jadi disini?" Tanya Rai, setelah kami sampai di tempat berkumpul club-ku.
"Iya.." Jawabku.
"Yaudah, aku balik duluan ya?" Ucapnya, berpamitan. Mata kami tanpa sengaja bertemu. Hanya sesaat. Karena setelahnya, aku sibuk mengalihkan pandangan Dari mata cokelatnya.
"Oke." Ucapku, sambil tersenyum. Aku melihatnya, tapi tidak dengan matanya. Mata cokelat itu selalu berhasil menenggelamkan kewarasanku setiap Kali aku memandangnya.
"Assalamu'alaikum.." Ucap Rai, sambil berlalu.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku, melambaikan tangan Dari balik punggungnya.
"Hati-hati.." Ucapku, pelan. Aku tau telinganya tidak akan mendengar, tapi tidak mengapa. Biarlah angin yang menerbangkan pesan. Dibantu dengan izin Allah agar bisa sampai ditempat tujuan.
Punggung yang dibalut kemeja hitam yang kian terlihat gagah itu lambat laun menghilang. Lenyap ditelan persimpangan. Diikuti dengan debar jantungku yang kian mereda, berubah menjadi normal seiring waktu berjalan.
***
Kenangan bersama Rai. Memang tak akan habisnya bila membicarakan orang tersayang. Otak ini pun tidak akan ada lelahnya memutar kembali setiap memori yang telah terlewat. Meski kadang kenangan itu terasa mengguncang. Rai, Dan kenangannya, memang tidak banyak. Bagaikan sebuah ukuran, hadirnya adalah hal yang tak akan bisa terlupakan. Tidak ada yang bisa membuat kenangan seperti yang ia lakukan. Karena setiap orang tercipta dengan perbedaan. Dan untuk Rai, terimakasih, karena sempat hadir Dan mengisi kekosanganku. Terimakasih karena kau telah menjadi bagian yang tak terlewatkan. Tidak akan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar