Saat ini adalah beberapa jam sebelum keberangkatanku ke Bogor. Aku akan kembali melanjutkanp studi di salah satu Kota yang sempat mendapat adipura di Indonesia, setelah beberapa bulan berlibur di Rumah. Semua pakaian sudah rapi di dalam koper. Selimut, sprei, guling, semua sudah siap masuk ke dalam bagasi mobil. Semua hampir siap, kecuali pernak-pernik kecil yang saat ini sedang aku rapikan. Bros, pin, peniti, jarum pentul, alat make up, dan masih banyak lagi.
"Ditempatin di kotak kecil gitu kek, dek." Ucap kakakku yang sejak tadi sibuk memperhatikan ku yang mencoba membereskan barang-barang. Tanpa bicara, aku mencari sebuah kotak kecil. Dilemari? Tidak ada. Diatasnya? Pun tidak ada. Aha! Seketika, ingatanku muncul Dan membuatku memandangi ke laci kecil disudut kamar. Seingatku, disana pernah kuletakkan kotak kecil yang dulu aku sebut-sebut sebagai kotak harta karun.
Perlahan, aku membuka laci kecil yang entah kapan terakhir Kali aku menyentuhnya. Terlihat kotak kecil yang usang, kotak besi yang sebenarnya merupakan bekas kotak cokelat itu, terasa menyita perhatianku. Perlahan aku buka tutupnya yang agak keras. Memberika n efek sakit Dan denyutan lembut diujung-ujung kuku jariku. Ah.. Tapi syukurlah kuku-kukuku tidak patah. Sambil tersenyum, kuperhatikan kuku-kukuku mungil dijariku. Sedetik kemudian, aku tersadar, bukan itu hal terpenting saat ini. Perhatianku kembali tertuju pada kotak bekas cokelat di tanganku. Aku kembali berusaha membuka tutup kotak tersebut. Kali ini, membuka tutup kotak itu tidak sesulit sebelumnya. Dengan sekali tekanan, kotak itu sudah terbuka. Aku cukup terkejut melihat isinya yang dipenuhi sebuah buku Dan beberapa lembar kertas.
Aku menautkan kedua alisku, memperhatikan isi Dari kotak bekas cokelat di tanganku. Tanpa berpikir panjang, aku membawa kotak tersebut menuju kursi di sisi kamarku, Dan mendudukinya dengan posisi senyaman mungkin. Perlahan, kuambil buku kecil bergambar permen didalam kotak tersebut. Buku berukuran lebih kecil Dari kertas A5 itu membuatku penasaran. Sesaat, kuperhatikan buku itu. Terlihat usang Dan sedikit berdebu. Sisi-sisi kertasnya pun terlihat menguning. Setelah beberapa saat memperhatikan buku itu, rasa penasaran dalam diriku semakin tak terbendung. Aku mulai dengan membuka cover tebal Dari buku itu. Segera setelahnya, terlihat namaku tertera dihalaman pertama buku itu. Bibirku tak terasa terangkat Dari sisi kanan Dan kirinya, membentuk sebuah senyum simpul yang aku sendiri tidak bisa memaknainya. Tulisan tanganku terlihat seperti..
***
Sore itu, aku menuliskan satu kata yang sangat aku kenali; namaku sendiri, di atas kertas berwarna salem di buku kecil yang baru aku beli dengan uang tabunganku sendiri. Buku dengan cover bergambar beberapa permen berukuran besar Dan sebagian lainnya berukuran kecil, seperti diletakkan secara acak, dengan sepasang sepatu sneakers yang terlihat feminim di belakang permen-permen tadi. Aku tertarik dengan warna dasar biru lembut pada buku itu, dengan berbagai macam permen yang merupakan makanan kesukaanku. Dengan hati-hati, ku torehkan tinta berwarna hijau dengan glitter yang menyertainya. Usiaku saat itu 14 tahun. MARINA. Nama yang susah payah kutuliskan dengan Cantik, namun masih terlihat miring diatas kertas polos tanpa garis. Aku tersenyum simpul melihat hasil tulisanku. Tidak buruk. Pikirku. Sekali lagi, kubuka lembar pertama dalam buku kecilku yang manis. Kali ini setiap halamannya dilengkapi dengan garis-garis lurus yang dapat membantuku menulis dengan rapi, tanpa ada tragedi "naik-naik ke puncak gunung" seperti tulisan namaku dilbar sebelumnya.
Hai.. Teman baruku..
Satu kalimat pertama yang kutulis sebagai sapaan kepada buku kecilku. Perlahan jemariku menari, menorehkan tinta hijau dengan glitter lembut didalamnya, merangkai satu per satu kata menjadi kalimat bermakna. Cerita. Aku ceritakan pengalamanku hari itu diatas buku kecilku. Pengalaman, saat pertama Kali aku berjumpa dengannya. Tanpa sadar, senyumku mengembang ketika bayang seorang lelaki kecil nan imut muncul dibenakku. Sosok lelaki dengan senyuman manis sekaligus dingin. Perpaduan sempurna, seperti sebuah es krim. Membuatku ketagihan untuk melihat Dan melihatnya lagi. Membuatku selalu ingin mencuri-curi waktu untuk sekilas memandang.
Aku berjumpa dengannya beberapa bulan lalu. Ketika ia berjalan melewati jendela kamar asramaku, Dan tersenyum entah untuk siapa. Saat itu, tidak tahu bagaimana caranya, Dan apa alasannya, aku langsung yakin dia adalah laki-laki yang baik.
Saat itu, memang hanya sebatas itu. Aku ingat betul ketika ia berjalan ditemani ibunya, menuju ruang kepala sekolah. Tubuhnya yang pendek, wajahnya yg imut, membuatku menyimpulkan dia adalah murid SD yang sedang ingin menengok kakaknya yang mungkin bersekolah di sekolah yang sama denganku. Sekolah asrama, di daerah Jakarta Selatan. Tapi sore harinya, Allah seakan memberikan jawaban atas perkiraanku yang ternyata meleset. Di masjid, tepat setelah solat ashar berjama'ah, salah satu ustadz di sekolahku memperkenalkan seorang santri baru. Seorang ikhwan (laki-laki) yang berasal Dari Aceh.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap lelaki yang dimaksud ustadz sebagai santri baru. Sedikit terkejut, karna ternyata ikhwan baru di sekolahku adalah laki-laki yang tadinya aku kira adalah murid SD yang sedang mengunjungi kakaknya. Tapi sejujurnya, hampir semua teman perempuanku juga memikirkan hal yang sama. Bahkan saat ini, saat laki-laki itu berbicara dengan suara cempreng khas anak kecil, aku masih tidak percaya bahwa dia adalah murid SMP. Tidak ingin kalah argumen, aku kembali menyimpulkan bahwa ikhwan ini pastilah murid kelas 7. Setidaknya, tampang baby face seperti dia, pastilah belum lama lulus Dari sekolah dasar. Tapi lagi-lagi aku salah. Sebelumnya, ustadz sudah mengumumkan bahwa dia adalah murid kelas 8, yang artinya seumuran denganku. Aku Dan teman-temanku rasanya tidak habis pikir dengan kenyataan ini.
"Bocah kaya dia belom pantes dikelas delapan." Seru teman disebelahku, Aya. Aku hanya tertawa kecil, meski sejujurnya aku setuju dengannya.
"Nama saya..."ikhwan baru itu mulai melanjutkan perkenalan dirinya, ketika salamnya sudah dijawab oleh santri lain dengan kompak. Aku menyimak dengan antusias. Teman-teman disebelahku masih mempermasalahkan tampang ikhwan yang kini sibuk mencari perhatian audience untuk didengar, tapi aku berusaha mengabaikan mereka Dan fokus kepada ikhwan di depan.
"Ahmad Rizal, tapi biasa dipanggil Rai." Seketika, suasana menjadi semakin ricuh. Hampir semua santri membicarakan nama panggilan ikhwan baru tadi, yang jauh berbeda Dari nama lengkapnya.
"Hah? Kok Rai? Dari mana kata 'Rai' nya?"
"Kok ga nyambung banget"
"Dih.. Orang mah dipanggil Rizal aja kek."
Dan berbagai macam komentar lain Dari mulut-mulut santri dimasjid ini. Biar begitu, ikhwan baru tadi - maksudku, Rai- tetap melanjutkan perkenalan dirinya. Dari mulai asal daerah, Dan asal sekolah lamanya.
"Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Rai, santai. Sontqk semua orang menjawab salam penutup Dari Rai dengan kompak.
"W'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Setelahnya, kami diizinkan untuk bubar. Tapi tentu saja para ikhwan di depan sana mengambil kesempatan kebebasan ini untuk lebih mengenal sosok Rai. Rai.. Tanpa sadar, aku mendengus pendek. Unik. Desisku, sambil lalu.
***
Sederet memoriku seakan diputar didepan mataku, bak film dokumenter yang terus berulang. Pertemuan pertamaku dengan seorang laki-laki, yang tidak kusangka, masih singgah dihati. Hingga saat ini, ruang dihatiku seakan masih terkunci, dengan Rai yang terkurung, tak dapat pergi.
Tes..
Seakan tersadar Dari alam mimpi, air mataku menetes membasahi tanganku yang masih menggenggam erat buku kecilku. Cepat-cepat ku seka air mataku sebelum derainya semakin bertambah. Sebelum ada yang menyadari, bahwa ada seorang gadis yang terbawa emosi ketika dirinya tidak sengaja terseret dalam mesin waktu yang membawanya kembali. Kembali.. Ke masa disaat hatinya berteriak memberontak, meminta sang pemilik mengungkapkan rasa yang hatinya pendam. Masa.. Dimana diam adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Tidak ada pilihan. Hanya bisu yang bisa membisikkan rindu, menerbangkannya ke langit dengan Harapan angin akan membawanya ke tempat rindu itu tertuju. Rai.
Sosok lelaki rupawan yang lama tidak pernah ku lihat. Aku Dan Rai bukankah musuh, tapi juga tidak sedekat seorang sahabat. Entah sejak kapan aku menyimpan rasa yang berbeda untuknya. Tapi kejadian itu menambah jarak diantara kami, menyisakan ruang kosong yang tidak tersentuh. Aku dengan kesibukanku, Dan Rai? Entah bagaimana kabarnya kini. Aku menarik nafas panjang. Mencoba mengisi paru-paru dengan sebanyak mungkin udara yang dapat terhirup. Sakit itu datang lagi. Setelah sekian lama, ternyata ia masih ada. Menunggu dengan sabar hingga sang empunya perasaan kembali merasakan hadirnya. Sesak tiada bertepi. Bukan karena penyakit asma yang memang ku idap sejak bayi, tapi sesaknyang lain. Sesak yang sama seperti yang ku rasakan 3 tahun lalu.
Aku menggeleng keras. Mencoba menghilangkan fikiran yang akan membawaku kembali kepada kejadian 3 tahun lalu. Kejadian yang tidak ingin ku ingat lagi. Kejadian, yang kalau bisa, tidak pernah terjadi.
---
😊 pegel yaa ternyataaa nulis ginian doang. How how? Gimana nih pendapat kalian? Sejauh ini keren? Bagus? Atau keren banget? Atau bagus banget? Gua ngarep banget subscribe Dan comment kalian lohh..
Oiyaa.. Perlu temen-temen tau nihh.. Ini kisah nyata Lohh.. hihihii.. *just info*
Well.. Sampai jumpa besok lagi yaa.. Selamat bobo.. 😀😁
Tidak ada komentar:
Posting Komentar