Rabu, 24 Februari 2016

Candy Crush (bagian 4)

Disinilah aku. Bersama Mira Dan Rai, di Mall yang berbeda, di Kota Bekasi. Bekasi Cyber Park. Mall yang tidak terlalu besar, namun terkenal dengan harganya yang murah. Selama di perjalanan, aku tidak bisa berhenti mengutuk diriku sendiri. Kenapa dengan mudahnya aku berseru dengan semangat 45 ketika Rai mengajakku menonton dengan iming-iming ditraktir. Sial! Aku benar-benar merasa seperti wanita murahan sekarang. Ingin rasanya aku memutar waktu Dan pengganti tanggapan yang aku lakukan saat diberi tawaran menggiurkan ini, tapi apalah dayaku?
"Rin, lu emangnya tau bioskop disini ada disebelah mana?" Tanya Mira, sambil berbisik.
"Tau. Tenang aja.. Gua pernah kesini kok sama abang gua!" Jawabku, penuh percaya diri, sambil terus melangkahkan kaki masuk ke dalam Mall.
"Berapa kali?" Tanya Mira, lagi.
"Sekali." Jawabku, singkat, padat, jelas, Dan berhasil membuat ekspresi di wajah Mira berubah ketakutan. Mira adalah sahabatku, dia tahu bagaimana sifat, sikap Dan kebiasaan sahabatnya ini.
"Lu yakin lu inget tempatnya?" Tanya Mira, masih dengan keraguan yang jelas terlihat diwajahnya. Aku berhenti sejenak, menghembuskan nafasku dengan kasar.
"Mir, lu harus percaya sama gua!" Ucapku, penuh dengan rasa kesal. Baiklah, aku memang manusia paling pelupa, Dan paling tidak bisa diandalkan soal mengingat sesuatu, terlebih mengingat jalan Dan tempat. Tapi, tidak bisakah sahabatku itu, sekali saja, memberikan aku kepercayaan? Setidaknya itu bisa menjadi pembangkit semangatku setelah kejadian memalukan di Mall sebelumnya.
"Awas aja Kalo nyasar!" Ucap Mira, menyerah. Aku menaikkan sebelah bibirku, diikuti dengan putaran bola mataku. Aku berjalan cepat, untuk menunjukkan rasa kesalku. Tapi, secepatanya Mira mengimbangi langkahku. Kaki-kaki kami terus melangkah, melewati berbagai macam toko Dan lorong didalam Mall. Sampai akhirnya, aku memperlambat langkahku ketika mendapat keraguan dalam benakku.
"Kayanya ini deh, Mir." Ucapku, tidak bisa menyembunyikan keraguan didalamnya.
"Ya.. Udah.. Ayo." Kata Mira. Perlahan aku melangkahkan kakiku bersama Mira di sebelahku ke dalam lorong yang sepi, dengan pintu-pintu yang tertutup disebelah kanan Dan kirinya.
"Kok perasaan gua nggak enak ya?" Bisik Mira ditelingaku. Aku memandang sekitar, semua orang memandangi aku Dan Mira dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku Dan Mira terus berjalan perlahan sampai akhirnya kami menemukan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Aku memandang sekilas ke dalam. Aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak membulat sempurna. Jantungku berdegup kencang, Dan pipiku terasa panas. Bisa aku lihat, didalam ruangan tersebut ada banyak orang yang bernyanyi sambil berdiri Dan.. Terpampang salip besar didepan merek semua!
"Rin! Ini gereja!" Seru Mira. Refleks, aku Dan Mira berbalik arah Dan berlari secepat mungkin. Semua berjalan begitu cepat, sampai aku tidak menyadari bahwa sedari tadi, Rai tidak mengikuti kami. Rai hanya berdiri, diam didepan lorong, tanpa ikut melangkahkan kaki ke dalamnya. Meskipun sekilas, aku melihat derai tawa menyelimuti wajahnya. Mulutnya yang putih membuatku melihat dengan jelas rona merah disekitar wajahnya.
"Jahat!" Desisku, pelan. Kebencian pertama untuk Rai.

Kali ini, aku Dan Mira tidak lagi memimpin jalan. Aku, Mira, Dan Rai berjalan bersisian, meskipun jarak diantara kami bisa mencapai dua meter. Aku masih memandangi Rai dengan tatapan sinis yang mematikan dari mataku. Pandanganku bukan lagi pandangan memuja, melainkan kebencian. Aku tidak menyangka Rai bisa seperti itu. Setidaknya, ia bisa memperingatkan aku Dan Mira untuk tidak masuk. Atau paling tidak, dia tidak perlu tertawa dengan keterlaluan saat melihat kami. Dia benar-benar membiarkan kami dipermalukan! Aku masih sibuk menebuk-nepuk pipiku yang panas dengan telapak tanganku yang dingin. Berharap rasa panas Dan dingin dipipi Dan tanganku bisa berubah menjadi netral. Kulitku yang berwarna sawo matang, cenderung terlalu matang, membuat wajahku tidak menampakkan rona merahnya.
"Udahlah, Rin.. Gausah segitunya ngeliatin nya." Ujar Mira. Mungkin dia menyadari arah pandanganku.
"Gua kesel, Mir! Seenggaknya dia gausah bahagia-bahagia banget kek. Kan bisa?" Ucapku, tertahan. Mira yang mendengar kata-kataku malah tertawa.
"Tapi tadi dia lucu banget. Kurang ajar sih, tapi lucu. Kaya anak bocah!" Ucap Mira.
"Udah deh. Sekarang bukan saatnya kagum sama dia!" Ucapku, kesal. Lagi-lagi, aku mempercepat langkah kakiku.
"Jangan cepet-cepet! Entar nyasar ke kuil dah abis ini!" Seru Mira. Pipiku kembali panas. Tanpa banyak bicara, aku daratkan cubitan maut dilengan Mira. Sukses dengan cubitanku, Mira meringis kesakitan.
"Sakit, peleh!" Desisnya, sambil memegangi bekas cubitanku. Aku mengangkat sebelah bibirku, menampilkan senyuman sinis yang dingin.
"HA .. HA!!" Ujarku.

Aku Dan Mira tidak ingin mengulangi kesalah yang sama seperti sebelumnya. Kali ini kami lebih hati-hati dengan menanyakan keberadaan bioskop di Mall ini ke security. Beberapa saat kemudian, kami sampai ditempat tujuan; bioskop.
"Mau nonton apa?" Tanyaku, asal. Rai, yang sesungguhnya adalah orang yang aku tanya, tidak merespon. Well.. Kali ini memang salahku. Aku bertanya tanpa melihat, bahkan melirik ke arahnya.
"Gua ngajak temen ke sini. Tunggu bentar ya.." Ucap Rai, tiba-tiba. Aku hanya mengangguk. Sambil menunggu, aku memperhatikan poster besar didekat loket pembelian tiket. Disana terlihat wajah Dari aktris Dan aktor sekaligus penyanyi dengan suara emas. Seorang laki-laki Dan perempuan Dan tampan Dan cantik, beradu peran dalam sebuah film drama remaja yang saat itu sedang booming di Indonesia. Film yang diangkat Dari novel yang pernah, maksudku, sering aku baca. Kisah cinta romantis, yang membuatku berdebar setiap Kali membacanya. Aku memperhatikan poster itu dengan seksama, kemudian pandanganku jatuh kepada satu kalimat sederhana, yang mampu membuatku tersenyum bahagia.
"Karna cinta selalu pulang." Ucapku, pelan Dan dalam. Sekilas, aku memperhatikan lelaki yang sudah jauh-jauh datang ke sini, ke Kota Bekasi. Rai.

Tanpa sadar, pipiku kembali panas. Rai, lelaki itu jelas sudah mengetahui perasaanku, meski aku tidak mengatakannya. Entah sejak kapan ia menyadarinya? Disatu sisi, aku merasa lega Dan bahagia, tapi disisi lain hatiku menuntut lebih. Aku ingin sesuatu yang lebih. Bukan sebuah hubungan, tidak harus kata-kata sayang. Aku hanya ingin ia turut merasakan, rasa yang lama aku pendam. Aku ingin ia membalasnya. Hanya itu. Apa aku terlalu egois? Beberapa waktu lalu, Rai pernah mengatakannya. Dia mengetahui perasaanku kepadanya, setelah itu, dia mengungkapkan perasaannya kepadaku; dia menyukaiku, tapi hanya sekedar itu. Entah apa maksudnya mengatakan hal itu kepadaku? Karena setelahnya, ia menjauh. Menghilang bagai mentari yang tertelan malam. Menyisakan kegelapan Dan kedinginan di relung hatiku yang terdalam. Dan sekarang? Ia tepat dihadapanku, tapi tidak kunjung dapat aku sentuh. Tidak pernah bisa aku gapai. Bahkan untuk membuatnya bicara rasanya mustahil, apalagi untuk membuatnya membalas rasa dihatiku.

Tanpa terasa, sudah satu jam aku, Mira, Dan Rai menunggu tanpa kepastian.
"Temen lo udah dimana?" Tanyaku, pada Rai.
"Gatau nih.. Dia belom bales lagi." Ucapnya, masih sibuk dengan ponselnya.
"Aduh!" Gumam Rai, kemudian.
"Kenapa?" Tanyaku, sedikit menyelidik.
"Pulsa gua abis." Jawabnya, agak malu.
"Yaudah, nih." Aku mengulurkan tanganku, memberikan ponsel kecil yang sedari tadi hanya aku genggam, tanpa melakukan apa-apa. Rai tidak melakukan apa-apa. Dia hanya melihat ponselku ditanganku, lalu memandangku sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Pake aja dulu. Pulsa lu abis kan? Gua masih ada." Ucapku, seakan mengerti apa yang ada dibenaknya. Dengan ragu, Rai mengambil ponsel ditanganku, Dan mulai mengetik. Aku yang tidak mau mengganggu Rai, segera bangkit Dan menjauh. Aku mendekati kaca pembatas, didekat eskalator. Melihat ke bawah, sambil sesekali bersenandung, entah lagi apa.
"Nih.." Sebuah tangan menghampiriku, memberikan ponselku kembali. "Makasih ya." Ujar Rai, setelahnya.
"Udah? Mau pinjem lagi nggak?"
"Nggak usah, makasih." Ucapku, sambil tersenyum. Melihat senyumnya, jantungku kembali berpacu. Sebisa mungkin kualihkan pandanganku. Salah tingkah. Selalu itu yang aku lakukan setiap kali didekatnya. Lebih baik menjauh. Ucapku dalam hati, diikuti derap langkah terburu-buru untuk kembali ke tempat duduk. Meninggalkan Rai sendirian, tanpa pamit.
"Kok lu ke sini sih?" Tanya Mira ketika melihatku kembali duduk disebelahnya.
"Ya terus?" Jawabku, sekenanya.
"Kayanya tadi dia mau ngomong sesuatu deh sama lo." Ucap Mira, serius.
"Masa?" Jawabku acuh tak acuh. Kontras dengan gemuruh didalm dadaku.
"Ya lu mikir aja. Ngapain dia jauh-jauh Dari jaksel ke bekasi Kalo bukan gara-gara hal penting buat diomongin ke elu?!" Kali ini, Mira benar-benar serius. Matanya menatap lurus arahku. Menikam, bagaikan pisau. Mira benar. Pasti ada sesuatu. Sejujurnya, aku juga penasaran dengan alasan Rai yang tiba-tiba datang, setelah kepergiannya yang tanpa kabar. Tapi, inilah aku dengan segala sikap pengecutku yang tak kunjung menyusut. Aku terlalu takut hanya untuk bertanya. Aku tidak bisa menahan diri, barang sebentar saja, ketika melihatnya tersenyum.

Singkat cerita, teman Rai akhirnya datang. Ia adalah adik kelasku sendiri. Faris. Rai Dan Faris yang menentukan film apa yang akan kami tonton, Dan pilihan mereka jatuh kepada film kartun komedi, Despicable Me 2. Aku Dan Mira diberikan dua buah tiket, seat 17 Dan 18. Dengan noraknya, aku meneriakkan "tujuh bekas" dengan suara keras. Entah mengapa, angka tersebut menjadi salah satu angka favoritku.
"Ini masih jam 3 filmnya. Gua sama Faris nyari pulsa dulu ya.." Ucap Rai. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Cari makan dulu yuk." Ucapku, mengajak Mira.
"Makan mulu kerjaan lu!" Ujar Mira, kontras dengan tindakannya. Meski terus menggerutu, Mira tetap ikut berjalan disampingku.

***

"Mir!!!!" Seruku, heboh sendiri.
"Apaan?" Jawab Mira, santai.
"Udah jam tiga!!"
"Seriusan?! Yaudah ayo cepet!" Tanpa banyak bicara, aku Dan Mira berlari secepat yang kami bisa ke arah bioskop. Jam tiga lewat Lima belas, kami baru sampai di depan pintu teater.
"Kursinya yang mana, Mir?" Ujarku, sambil terus memegangi lengan Mira. Kami sudah berada didalam teater yang gelap, tapi belum bertemu layar lebar. Jalanan yang cukup jauh Dan gelap, membuatku ngeri.
"Liat aja yang ada Rai-nya." Jawab Mira, cuek.
"Kalo dia belom dateng, gimana?" Tanyaku, masih khawatir.
"Ya.. Cari sendiri." Jawabnya, enteng. Mira. Makhluk paling tidak mau repot yang pernah aku kenal!

Aku Dan Mira terus berjalan, menyusuri gelapnya bioskop. Pencahayaan disini hanya sebatas proyektor yang menyinari layar lebar didepan kursi penonton.
"Itu Faris kan?" Ucap Mira, bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Mira menghampiri Faris yang duduk di kursi paling pinggir. Disebelahnya, ada Rai yang sedang asyik menonton. Aku melihat angka 17 terpampang di kursi sebelah Rai. Mataku melotot sesaat, kaget. Aku berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam barisan kursi, disusul Mira di belakangku. Ragu sempat menghinggapiku sesaat, tapi dengan cepat aku mengambil keputusan yang mungkin akan aku sesali seumur hidupku. Kursi nomor 17 kini tepat disampingku. Aku menguatkan hati, menarik nafas Dan memejamkan mata dengan cepat. Keputusanku sudah bulat. Aku melewati kursi nomor 17 Dan menghembuskan diri dikursi bernomor 18.
"Rin, yang nomor tujuh belas yang ini." Ucap Mira, sambil menunjuk kursi disebelah kiriku. Aku menoleh sebentar. Terlihat Rai yang juga menoleh ke arahku dengan ekspresi tidak terbaca.
"Yaudah sih!" Ucapku, geram, sambil menarik lengan Mira, sampai ia jatuh terduduk dikursi bernomor 17.

Film terus berlanjut tanpa henti, sesekali adegan lucu membuat penonton tertawa hahaha hihihi. Aku ikut tertawa, tapi tawaku sedikit berbeda. Dengan hati-hati, aku menoleh ke arah Rai yang terlihat sangat menikmati film ini. Air mukaku berubah sendu. Bodoh! Rutukku dalam hati. Menyesal. Satu kata yang bisa mendeskribsikan keaadaan naasku ini.
"Mau tukeran, Rin?" Tanya Mira, peduli. Aku hanya tersenyum. Perlahan, aku gerakkan kepalaku ke kanan Dan ke kiri.
"Gausah." Ucapku, penuh dusta. "Gua takut malah nggak konsen nonton Kalo deket-deket sama dia." Lanjutku, dengan tawa yang mengiringi. Memang benar apa yang aku katakan. Entah Apa maunya hati? Terasa hampa dikala jauh, namun juga tak bernyali untuk mendekati. Rai, adakah kamu merasakan penderitaan ini? Perang antara sisi hati yang bertolakan. Mira mengangguk, dia kembali menatap layar lebar didepan nya.
"Sekali-sekali lu harus buang ego lo." Ujar Mira pelan. Ego dia bilang. Ya.. Aku tau aku egois. Aku ingin, tapi tidak berani. Aku penasaran, tapi enggan bertanya.

Detik demi detik berlalu tanpa sedikitpun pernah kembali. Layar didepanku seakan menyaksikan kegundahan hatiku. Pikiranku sungguh bukan tertuju pada film komedi ini. Meski sesekali tertawa, sesekali memberi komentar, sesekali ikut terharu, tetapi pikiranku melayang. Rai. Lelaki itu semakin tidak tergapai. Sebentar lagi film akan berakhir, maka berakhir pula kebersamaan kami. Rai, sedetikpun bahkan aku tidak konsentrasi. Memikiranmu, memikirkan apa yang akan kau katakan.

Lampu bioskop perlahan menyala, menerangi ruangan dingin ini.
"Akhirnya selesai jugaa.." Seru Mira.
"Gua udah ditelponin umi gua nih. Balik yuk, Rin." Lanjutnya.
"Ayo." Jawabku, singkat. Aku memandangi Faris Dan Rai Dari belakang. Mereka berjalan ke arah yang berbeda, setelah berpamitan terlebih dahulu kepadaku Dan Mira. Aku pandangi punggung tegap yang semakin lama semakin jauh. Rai. Kamu jauh lagi. Kita terpisah lagi, Rai. Perlahan, Mira menggandeng tanganku, membawaku keluar Mall. Ke arah yang berbeda Dari Rai. Sampai jumpa. Semoga Allah tidak kapok mempertemukan kita.

Aku berjalan lunglai ke jalan raya, menunggu angkot, ditemani Mira disampingku. Ku hembuskan nafas dengan beratnya. Rai. Nama itu masih memenuhi otakku.
"Mir.." Aku mulai angkat bicara.
"Gua masih.. Penasaran." Ucapku, dengan suara pelan. Lemah Dan tertunduk, tak berdaya. Aku tau! Bukan saatnya aku mengatakan kata-kata itu. Semua terlambat? Ya! Aku tau! Tapi, aku masih berharap keajaiban datang. Rai. Mira tidak menanggapi, hanya decak kekesalan yang terlontar Dari mulutnya. Aku tau. Aku menyesal. Sekali lagi.. Aku tau.

***

"Dek! Udah sampe, woy!" Suara lembut dengan volume tinggi itu membangunkanku Dari tidurku. Mimpi itu. Mimpi tentang kenanganku bersama Rai beberapa waktu lalu. Sudah cukup lama. Tapi masih sukses menghantuiku dengan penyesalan tak bertepi.
"Ariiin.. Ini udah sampe. Mau pulang lagi?!" Kali ini giliran suara laki-laki yang terdengar. Suara kakakku. Aku bergumam pelan tanda bahwa aku sudah bangun.
"Cepet, dek."
"Iya.. Iyaa.. Ngusir banget sih." Ucapku, serak, sedikit kesal. Perlahan aku membersihkan sisa kotoran mata dimataku. Barulah setelahnya, aku buka pintu mobil dengan enggan. Berjalan ke belakang Mobil Dan membuka bagasi, sendirian!
"Woi! Bantuin kek!" Jeritku, kesal ketika melihat kakak laki-lakiku tidak bergerak Dari kursi.
"Yaelah.. Manja bener." Ucapnya, diiringi tawa. Ia membuka pintu Mobil disebelahnya Dan membantuku menurunkan Dan membawa barang-barangku ke dalam kamar indekost

Setelah semua barang-barangku didalam Mobil sudah berpindah tempat ke dalam kamar, kakakku berpamitan untuk pulang. Aku memaksakan seulas senyuman dibibir, sambil mengantarnya sampai ke pagar.
"Belajar yang bener, ya!" Ucapnya, sambil mengacak lembut puncak kepalaku. Rasa kantuk yang masih menghantuiku, membuatku enggan berbicara. Aku hanya tersenyum, sambil menaikkan kedua alisku setinggi-tingginya, Dan menyipitkan mataku sedatar-datarnya. Kelakuan yang selalu sukses membuat keluargaku kesal Dan mengacak-acak permukaan wajahku.
"Jelek ish!" Desisnya, sambil menutup wajahku dengan sebelah telapak tangannya yang besar.
"Ish!" Aku menggerutu, seraya menepis tangan kekar itu Dari wajahku. Senyuman tulus terpancar Dari wajah kami berdua. Kakakku berjalan memasuki Mobil, melakukan starter, Dan menjalankan Mobil. Aku masih melambaikan tangan, sampai akhirnya Mobil putih keliatan Nissan itu hilang ditelan tikungan jalan.

---

😊😀 jeng.. Jreng!! Gimana? Gimana?? Saran Dan masukannya ditunggu banget loohh 😄

Tidak ada komentar:

Posting Komentar