Sabtu, 30 April 2016

SIREN'S LAMENT

Siren's Lament - EVENT SPESIAL | LINE Webtoon http://www.webtoons.com/id/romance/sirens-lament/event-spesial/viewer?title_no=650&episode_no=6

Senin, 14 Maret 2016

Recommended story :)

I think you'd like this story: "Shining Sun" by aade_a on Wattpad http://w.tt/1QS4R1G.

Kamis, 25 Februari 2016

Candy Crush (bagian 6)

Keajaiban kembali terjadi hari ini. Ucapan syukur dan terimakasih terus kuucap dalam hati, untuk Allah sang pembelok-balik hati. Terimakasih, Ya Allah.. Engkau pertemuan kembali aku Dan Rai, disini, di institusi ini.
Aku yakin semua yang terjadi bukan tanpa alasan. Duhai Engkau yang Maha Mengetahui, bahkan tidak akan sehelai daun-pun jatuh tanpa pengetahuan-Mu. Terimakasih, meski untuk sesaat, kau pertemukan aku lagi. Dengan ia yang aku rundui. Terimakasih.

Bibirku kembali membentuk seulas senyuman. Kejadian itu, setelah Rai (Lagi-lagi) pergi Dan menghilang tanpa kabar Dan kepastian, ia datang. Kedatangan yang bahkan tak pernah sekalipun aku sangka-sangka.

Aku mengingatnya dengan sangat jelas. Saat itu sore hari di Kota hujan ini. Nada dering ponselku terasa mengusik sedikit ketenangan yang aku rasakan. Aku yang baru saja selesai Mandi, merasa enggan mengangkat telepon masuk itu. Aku melirik sekilas jam dipergelangan tangan kiriku. Sudah mau jam 4. Aku harus siap-siap! Rutukku dalam hati. Aku putuskan untuk tidak mengangkat panggilan yang masuk ke nomor di ponselku, sampai deringnya berhenti sendiri. Aku memakai baju biruku setelah selesai berkutat dengan celana hitamku yang longgar. Celana yang harusnya dikenakan oleh laki-laki ini, membuatku tertarik. Bahanya tebal, nyaman Dan tidak terlalu ketat, namun tetap memberikan kesan rapi.

Aku baru saja hendak memoleskan bedak ke permukaan wajahku, sampai suara lembut maudy ayunda kembali terdengar sebagai nada dering ponselku. Sekilas, aku melirik ponselku. Terlihat sederet angka yang belum tersimpan didalam contact di ponselku. Nomor yang sama dengan nomor yang sebelumnya juga menelponku. Siapa? Diam-diam terselip rasa penasaran dibenakku. Dengan enggan, aku meletakkan bedak di tanganku ke atas meja, kemudian duduk manis di kasur, mengangkat panggilan yang sedari tadi mengganggu.
"Halo?" Ucapku, dengan nada bertanya.
"Halo.. Assalamu'alaikum."

Deg!
Aku mengenali suara ini, tapi- apa mungkin itu dia?

"Wa'alaikumussalam.." Jawabku pelan. Aku ingin bertanya siapa yang sedang menelponku saat ini? Tapi tidak ada suara yang keluar Dari pita suaraku. Tidak ada kata yang terlontar Dari mulutku.
"Ini Arin, kan?" Terdengar suara diseberang, seperti meyakinkan dirinya sendiri.
"Iya.." Jawabku, pendek.
"Rin, ini Rai." Ucapnya.

Jantungku berpacu, perasaanku tidak menentu. Firasatku tepat. Suara itu memang tidak pernah berubah. Rai? Tapi untuk apa? Bukankah dia yang memutuskan untuk pergi menjauh? Bukankah ia yang memilih untuk menghilang tanpa jejak? Tapi kenapa?--

"Kamu lagi di kampus, nggak?" Tanya Rai, mengusik pikiranku.
"Kita bisa ketemu?" Lanjutnya. Ketemu? Aku tidak mengerti. Bagaimana kita bisa bertemu jika saat ini aku ada di asrama, kampusku, Sedangkan dia--

"Aku lagi di kampus kamu." Ucap Rai, seakan membuntukan pikiranku. Jantung ini berpacu semakin tidak terkendali. Tenang, Arin.. Tenang.. Ucapku, dalam hati. Berusaha menenangkan diriku sendiri.
"Ya udah.." Ucapku, setelahnya. Entah apa yang aku pikirkan. Seakan ada tarikan yang kuat untuk bisa bertemu dengannya, meski sisi lain dalam diriku berteriak, memberontak. Rai. Laki-laki yang selalu berhasil memporak-porandakan hatiku. Mempermainkan perasaannya, kemudian pergi tanpa kabar Dan berita.

Sambungan telepon terputus setelah kami saling mengucap Dan menjawab salam. Aku bisa merasakan pipiku memanas. Bahagia? Mungkin. Sudah hampir satu tahun aku tidak bertemu dengannya, atau mungkin lebih? Dan sekarang ia mengajakku bertemu. Sungguh, aku merasa sangat bahagia. Tidak bisa aku pungkiri kebenaran hal tersebut. Tapi disisi lain hatiku memberontak! Rasa sakit itu masih terasa, luka itu masih lebar menganga. Dalam sekali torehan luka yang ia berikan, aku sadar hal itu. Tapi, tidak bisakah  luka itu aku sembunyikan? Toh lambat laun ia akan mengering Dan hilang. Satu hal yang sangat ingin aku lakukan hanyalah menemuinya. Menjumpai senyuman dingin nan manis Dari bibirnya, serta merasakan kerasnya debaran jantung setiap Kali didekatnya.

Biarlah luka ini aku yang tahu. Biarlah sakit ini aku yang rasa. Serta, biarlah ia melihatku tersenyum penuh cahaya, tanpa perlu mengetahui sisi gelap dibaliknya. Biarlah..

Aku berjalan diantara lebatnya pepohanan, diatas jalan kecil yang penuh bebatuan. Sakit memang, mulanya. Tapi kau tidak akan tahu bagaimana khasiat kesehatan yang kelak kau dapatkan. Batuan refleksi, yang hampir setiap pagi kutapaki ini, tidak lagi terasa menyakitkan dikaki. Ditambah dengan rasa bahagia yang kian membuncah, membuatku tidak bisa merasakan apaoun, kecuali kebahagiaan.

Rai. Laki-laki itu disana. Diujung jalan, didekat masjid megah didalam kampusku. Al-Hurriyah, itulah nama masjid unik yang kini menjadi saksi bisu pertemuan kami. Ini terasa seperti mimpi.
"Hai.." Sapaan pertama yang aku dengar Dari mulut Rai, sejak terakhir kami berjumpa. Aku menjawabnya dengan senyum yang mengulum. Aku masih belum berdamai dengan sisi gelapku. Masih ada pertarungan sengit didalam kalbu. Siapa yang akan menang? Entahlah.. Mungkin hanya Tuhan yang tahu.

Tanpa banyak bicara Dan aba-aba, aku Dan Rai berjalan bersisian. Masih dibawah lebatnya pepohanan Dan diatas jalan yang penuh bebatuan. Diam, seakan satu-satunya hal yang bisa kami lakukan.
"Apa kabar, Rin?" Rai angkat bicara, memecah sepi yang sedari tadi menghantui.
"Seperti yang kamu lihat, aku baik." Jawabku, sedatar mungkin.
"Gimana--"
"Kalo ka--"
Tanpa sengaja kami berbicara bersamaan. Memecah tawa yang sedari tadi seperti enggan keluar.
"Kamu duluan--" lagi-lagi kami berbicara bersamaan, kini bahkan dengan perkataan yang sama. Kembali tawa itu terdengar Dari mulut kami. Aku memilih diam, mengalah, membiarkan Rai menyelesaikan perkataannya.
"Ehm.." Rai berdehem pelan, tapi masih bisa aku dengar.
"Gimana rasanya jadi mahasiswa?" Ucap Rai, setelahnya. Aku tersenyum singkat, sambil membayangkan tugasku yang tidak kunjung selesai.
"Menyenangkan." Jawabku, dalam arti yang berbeda. Tidak ada tanggapan Dari Rai setelahnya.
"Kamu sendiri? Gimana rasanya nambah jatah SMA?" Tanyaku, mencoba mengusir rasa awkward.
"Biasa aja.." Jawabnya. Setelah itu, sepi kembali menyapa.

Maa Sya Allah.. Kenapa selalu seperti ini yang terjadi jika apa bersama dengan Rai. Aku tahu aku bukanlah orang yang pandai memulai perbincangan. Tapi aku selalu bisa menanggapi pertanyaan orang lain dengan baik, sehingga setelahnya kami bisa berbincang-bincang dengan nyaman.
"Kamu mau pergi?" Tanya Rai. Matanya sekilas tertuju pada tas putih yang tersampir di bahu kiriku.
"Iya.. Ada kumpul Gravitasi." Jawabku, tanpa memedulikan tatapan bertanya Dari sorot mata Rai.
"Gravitasi?" Rai mengernyit, mendengar jawaban yang (mungkin) terdengar ganjil di telinganya.
"Iya.. Itu nama club, gitu." Jawabku, sambil memandang matanya Dan tersenyum. Kerutan diantara kedua alis Rai sedikit mengendur.
"Club apa?" Tanyanya, lagi.
"Fotografi dan videografi. Tapi aku milih fokus fotografi." Jelasku. Rai ber-"ooh" Dan mengangguk secara bersamaan. Dan aku? Aku tersenyum, sambil memandang wajahnya yang menatap lurus ke depan.
"Kamu suka fotografi?" Tanyanya, yang menurutku seperti pertanyaan yang tidak harus dijawab. Tapi tidak. Aku menjawabnya.
"Yup." Ucapku, sambil (lagi-lagi) tersenyum. Setelahnya, percakapan kami membaik. Rai menceritakan temannya yang pandai di bidang fotografi, menceritakan kehidupan asramanya, Dan lain-lain sebagainya. Aku hanya memberikan tanggapan pendek seperti "ooh.." "Wow" ataupun "ya.. Ya.." Tanpa sedikitpun bermaksud mengacuhkannya. Sungguh, hari ini aku merasakan Bulan Ramadhan yang penuh dengan keberkahan.

"Jadi disini?" Tanya Rai, setelah kami sampai di tempat berkumpul club-ku.
"Iya.." Jawabku.
"Yaudah, aku balik duluan ya?" Ucapnya, berpamitan. Mata kami tanpa sengaja bertemu. Hanya sesaat. Karena setelahnya, aku sibuk mengalihkan pandangan Dari mata cokelatnya.
"Oke." Ucapku, sambil tersenyum. Aku melihatnya, tapi tidak dengan matanya. Mata cokelat itu selalu berhasil menenggelamkan kewarasanku setiap Kali aku memandangnya.
"Assalamu'alaikum.." Ucap Rai, sambil berlalu.
"Wa'alaikumussalam." Jawabku, melambaikan tangan Dari balik punggungnya.
"Hati-hati.." Ucapku, pelan. Aku tau telinganya tidak akan mendengar, tapi tidak mengapa. Biarlah angin yang menerbangkan pesan. Dibantu dengan izin Allah agar bisa sampai ditempat tujuan.

Punggung yang dibalut kemeja hitam yang kian terlihat gagah itu lambat laun menghilang. Lenyap ditelan persimpangan. Diikuti dengan debar jantungku yang kian mereda, berubah menjadi normal seiring waktu berjalan.

***

Kenangan bersama Rai. Memang tak akan habisnya bila membicarakan orang tersayang. Otak ini pun tidak akan ada lelahnya memutar kembali setiap memori yang telah terlewat. Meski kadang kenangan itu terasa mengguncang. Rai, Dan kenangannya, memang tidak banyak. Bagaikan sebuah ukuran, hadirnya adalah hal yang tak akan bisa terlupakan. Tidak ada yang bisa membuat kenangan seperti yang ia lakukan. Karena setiap orang tercipta dengan perbedaan. Dan untuk Rai, terimakasih, karena sempat hadir Dan mengisi kekosanganku. Terimakasih karena kau telah menjadi bagian yang tak terlewatkan. Tidak akan.

Candy Crush (bagian 5)

Aku terbaring diatas tempat tidurku. Kupejamkan mataku rapat-rapat, membuat efek relaksasi dikepalaku. Baru saja aku selesai membereskan barang-barang yang aku bawa Dari rumah. Beberapa Kali aku tarik Dan hembuskan nafasku dalam. Mencoba mengisi kekosangan didalam paru-paruku. Rai. Lagi-lagi lelaki itu. Aku membuka mataku dengan enggan, melihat buku kecil diatas mejaku. Rasa malas menjalari sekujur tubuhku, tapi ada rasa yang luar biasa memberikan tenaga. Dengan alasan entah apa, aku menjejakkan kakiku ke lantai, berjalan dengan gontai menuju meja di sudut ruangan. Aku mengambil- menyeret- buku kecil itu Dan membawanya. Tanpa sengaja, aku menjatuhkan sesuatu dari dalam buku kecil itu. Aku memicingkan mataku, perlahan kuambil kertas yang jatuh di lantai. Tiket bioskop seat 17. Aku tersenyum samar.

Aku mengambil tiket bioskop yang tidak sengaja terjatuh, Dan kembali menyelipkannya ke dalam buku. Hasrat yang kuat memaksaku membaca kembali buku kecilku. Aku membukanya, tepat dihalaman yang menceritakan ucapan Mira kepadaku, saat kami berbincang-bincang di toko buku.

"Lo tau, nggak? Tadi di angkot lo berdua lucu banget. Yang satu sibuk melengos. Yang satu sibuk curi-curi pandang sambil senyum-senyum minta digaplok!"

Aku tersenyum melihat tulisanku sendiri. Memang benar, saat itu Mira benar mengucapkannya. Aku mengingatnya kembali. Bagaimana ekspresi Mira saat mengucapkannya, bagaimana ekspresi Dan tanggapanku tentang pernyataannya, Dan bagaimana percakapan itu berlanjut. Aku kembali membaca, tapi jiwaku terasa pergi. Kembali ke masa Indah itu. Masa yang, aku tahu, tidak akan pernah terulang. Masa dimana penyesalan yang menggunung menimpaku hari ini, bermula.

***

"Tunggu! Maksud lo siapa sih, Mir? Siapa yang melengos, siapa yang curi-curi pandang?" Tanyaku, penasaran. Karena yang aku tahu, kedua sikap yang dibicarakan Mira, adalah sikap yang aku lakukan.
"Ya siapa lagi, Rin?!" Mira semakin geram. Tapi aku hanya diam. Memandanginya dengan tatapan tak berdosa Dan tak mengerti apa-apa. Mira yang melihat kelakuanku, hanya mendesah berat.
"Lo sama Rai laaah!" Mira benar-benar hampir hilang kendali. Ingin rasanya aku segera mengerti, tapi apalah daya otakku memang hanya sebatas ini. Aku mengedipkan mataku dua Kali. Menatapnya dengan tatapan bertanya yang sama seperti tadi.
"Rai tadi curi-curi pandang ke elo! Abis itu dia senyum-senyum sendiri pas ngeliat kelakuan lu yang salting, sok kepengen melengos tapi nengok balik lagi!" Ups. Kali ini emosi Mira benar-benar sudah diluar kendali. Semua kata-katanya penuh dengan tekanan. Belum lagi wajahnya yang terasa akan menerkamku bulat-bulat. Jika ini keadaan normal, aku pasti sudah memohon ampunan makhluk besar didepanku ini. Tapi saat ini bukanlah keadaan yang normal. Ini ajaib! Rai? Mencuri pandang ke arahku? Sungguh!? Mira pasti bercanda! Tapi aku tidak akan menanyakan hal itu kepadanya. Aku hanya bisa menjerit dengan kedua tangan yang membekas mulutku sendiri.

Aku melompat Dan menjerit. Setelah puas, aku melompat ke arah Mira. Mengantungkan tanganku dilehernya yang lebih tinggi dariku. Selanjutnya, aku hilangkan jarak antara aku Dan Mira.
"Apaan sih lu! Jijik!" Desis Mira, tak suka. Aku tidak peduli. Aku bahkan tidak peduli bila saat ini ia mendorongku hingga terjatuh lalu tertimpa rak buku yang terisi penuh. Aku ingin memeluknya. Terimakasih Mira. Ini adalah informasi terindah yang pernah aku dengar! Sungguh.

***

Aku tertawa saat mengingat kejadian saat itu. Huggle Monster. Itu adalah salah satu nama julukanku. Bagaimana tidak? Aku adalah orang yang tidak peduli tempat, waktu Dan keadaan, untuk memeluk seseorang. Tidak jarang orang-orang mengaku risih dengan sikapku. Tapi sungguh, aku tidak pernah memeluk yang bukan mahrom. Aku takut!

Pandanganku kembali tertuju pada buku ditanganku. Celotehanku di buku ini belum selesai. Mataku terpana dengan angka yang tertulis di buku itu. Tanggal yang saat itu aku tulis menggunakan tinta biru. Tanggal dengan bentuk angka yang berbeda. Angka dalam bahasa Arab.
Bulan Ramadhan? Pikirku, sejenak. Aku membaca sekilas tentang apa yang aku tulis pada lembar itu. Ah.. Benar. Kejadian ini terjadi, tepat saat Ramadhan. Saat aku baru saja merasakan sensai berganti status Dari "siswa" menjadi "mahasiswa" di sebuah perguruan tinggi ternama di daerah Bogor, Dramaga.

---

Sorry dikit. Ini buat bonus hari ini aja ... Hehehe.. 😅 by the way.. Bagi pembaca wattpad, kalian bisa baca cerita-cerita aku Dari wattpad, dengan judul yang sama. Akun aku namanya aade_a yaa..
See you 😆😊😊😄

Rabu, 24 Februari 2016

Candy Crush (bagian 4)

Disinilah aku. Bersama Mira Dan Rai, di Mall yang berbeda, di Kota Bekasi. Bekasi Cyber Park. Mall yang tidak terlalu besar, namun terkenal dengan harganya yang murah. Selama di perjalanan, aku tidak bisa berhenti mengutuk diriku sendiri. Kenapa dengan mudahnya aku berseru dengan semangat 45 ketika Rai mengajakku menonton dengan iming-iming ditraktir. Sial! Aku benar-benar merasa seperti wanita murahan sekarang. Ingin rasanya aku memutar waktu Dan pengganti tanggapan yang aku lakukan saat diberi tawaran menggiurkan ini, tapi apalah dayaku?
"Rin, lu emangnya tau bioskop disini ada disebelah mana?" Tanya Mira, sambil berbisik.
"Tau. Tenang aja.. Gua pernah kesini kok sama abang gua!" Jawabku, penuh percaya diri, sambil terus melangkahkan kaki masuk ke dalam Mall.
"Berapa kali?" Tanya Mira, lagi.
"Sekali." Jawabku, singkat, padat, jelas, Dan berhasil membuat ekspresi di wajah Mira berubah ketakutan. Mira adalah sahabatku, dia tahu bagaimana sifat, sikap Dan kebiasaan sahabatnya ini.
"Lu yakin lu inget tempatnya?" Tanya Mira, masih dengan keraguan yang jelas terlihat diwajahnya. Aku berhenti sejenak, menghembuskan nafasku dengan kasar.
"Mir, lu harus percaya sama gua!" Ucapku, penuh dengan rasa kesal. Baiklah, aku memang manusia paling pelupa, Dan paling tidak bisa diandalkan soal mengingat sesuatu, terlebih mengingat jalan Dan tempat. Tapi, tidak bisakah sahabatku itu, sekali saja, memberikan aku kepercayaan? Setidaknya itu bisa menjadi pembangkit semangatku setelah kejadian memalukan di Mall sebelumnya.
"Awas aja Kalo nyasar!" Ucap Mira, menyerah. Aku menaikkan sebelah bibirku, diikuti dengan putaran bola mataku. Aku berjalan cepat, untuk menunjukkan rasa kesalku. Tapi, secepatanya Mira mengimbangi langkahku. Kaki-kaki kami terus melangkah, melewati berbagai macam toko Dan lorong didalam Mall. Sampai akhirnya, aku memperlambat langkahku ketika mendapat keraguan dalam benakku.
"Kayanya ini deh, Mir." Ucapku, tidak bisa menyembunyikan keraguan didalamnya.
"Ya.. Udah.. Ayo." Kata Mira. Perlahan aku melangkahkan kakiku bersama Mira di sebelahku ke dalam lorong yang sepi, dengan pintu-pintu yang tertutup disebelah kanan Dan kirinya.
"Kok perasaan gua nggak enak ya?" Bisik Mira ditelingaku. Aku memandang sekitar, semua orang memandangi aku Dan Mira dengan tatapan yang sulit diartikan. Aku Dan Mira terus berjalan perlahan sampai akhirnya kami menemukan sebuah pintu yang sedikit terbuka. Aku memandang sekilas ke dalam. Aku tidak bisa menahan mataku untuk tidak membulat sempurna. Jantungku berdegup kencang, Dan pipiku terasa panas. Bisa aku lihat, didalam ruangan tersebut ada banyak orang yang bernyanyi sambil berdiri Dan.. Terpampang salip besar didepan merek semua!
"Rin! Ini gereja!" Seru Mira. Refleks, aku Dan Mira berbalik arah Dan berlari secepat mungkin. Semua berjalan begitu cepat, sampai aku tidak menyadari bahwa sedari tadi, Rai tidak mengikuti kami. Rai hanya berdiri, diam didepan lorong, tanpa ikut melangkahkan kaki ke dalamnya. Meskipun sekilas, aku melihat derai tawa menyelimuti wajahnya. Mulutnya yang putih membuatku melihat dengan jelas rona merah disekitar wajahnya.
"Jahat!" Desisku, pelan. Kebencian pertama untuk Rai.

Kali ini, aku Dan Mira tidak lagi memimpin jalan. Aku, Mira, Dan Rai berjalan bersisian, meskipun jarak diantara kami bisa mencapai dua meter. Aku masih memandangi Rai dengan tatapan sinis yang mematikan dari mataku. Pandanganku bukan lagi pandangan memuja, melainkan kebencian. Aku tidak menyangka Rai bisa seperti itu. Setidaknya, ia bisa memperingatkan aku Dan Mira untuk tidak masuk. Atau paling tidak, dia tidak perlu tertawa dengan keterlaluan saat melihat kami. Dia benar-benar membiarkan kami dipermalukan! Aku masih sibuk menebuk-nepuk pipiku yang panas dengan telapak tanganku yang dingin. Berharap rasa panas Dan dingin dipipi Dan tanganku bisa berubah menjadi netral. Kulitku yang berwarna sawo matang, cenderung terlalu matang, membuat wajahku tidak menampakkan rona merahnya.
"Udahlah, Rin.. Gausah segitunya ngeliatin nya." Ujar Mira. Mungkin dia menyadari arah pandanganku.
"Gua kesel, Mir! Seenggaknya dia gausah bahagia-bahagia banget kek. Kan bisa?" Ucapku, tertahan. Mira yang mendengar kata-kataku malah tertawa.
"Tapi tadi dia lucu banget. Kurang ajar sih, tapi lucu. Kaya anak bocah!" Ucap Mira.
"Udah deh. Sekarang bukan saatnya kagum sama dia!" Ucapku, kesal. Lagi-lagi, aku mempercepat langkah kakiku.
"Jangan cepet-cepet! Entar nyasar ke kuil dah abis ini!" Seru Mira. Pipiku kembali panas. Tanpa banyak bicara, aku daratkan cubitan maut dilengan Mira. Sukses dengan cubitanku, Mira meringis kesakitan.
"Sakit, peleh!" Desisnya, sambil memegangi bekas cubitanku. Aku mengangkat sebelah bibirku, menampilkan senyuman sinis yang dingin.
"HA .. HA!!" Ujarku.

Aku Dan Mira tidak ingin mengulangi kesalah yang sama seperti sebelumnya. Kali ini kami lebih hati-hati dengan menanyakan keberadaan bioskop di Mall ini ke security. Beberapa saat kemudian, kami sampai ditempat tujuan; bioskop.
"Mau nonton apa?" Tanyaku, asal. Rai, yang sesungguhnya adalah orang yang aku tanya, tidak merespon. Well.. Kali ini memang salahku. Aku bertanya tanpa melihat, bahkan melirik ke arahnya.
"Gua ngajak temen ke sini. Tunggu bentar ya.." Ucap Rai, tiba-tiba. Aku hanya mengangguk. Sambil menunggu, aku memperhatikan poster besar didekat loket pembelian tiket. Disana terlihat wajah Dari aktris Dan aktor sekaligus penyanyi dengan suara emas. Seorang laki-laki Dan perempuan Dan tampan Dan cantik, beradu peran dalam sebuah film drama remaja yang saat itu sedang booming di Indonesia. Film yang diangkat Dari novel yang pernah, maksudku, sering aku baca. Kisah cinta romantis, yang membuatku berdebar setiap Kali membacanya. Aku memperhatikan poster itu dengan seksama, kemudian pandanganku jatuh kepada satu kalimat sederhana, yang mampu membuatku tersenyum bahagia.
"Karna cinta selalu pulang." Ucapku, pelan Dan dalam. Sekilas, aku memperhatikan lelaki yang sudah jauh-jauh datang ke sini, ke Kota Bekasi. Rai.

Tanpa sadar, pipiku kembali panas. Rai, lelaki itu jelas sudah mengetahui perasaanku, meski aku tidak mengatakannya. Entah sejak kapan ia menyadarinya? Disatu sisi, aku merasa lega Dan bahagia, tapi disisi lain hatiku menuntut lebih. Aku ingin sesuatu yang lebih. Bukan sebuah hubungan, tidak harus kata-kata sayang. Aku hanya ingin ia turut merasakan, rasa yang lama aku pendam. Aku ingin ia membalasnya. Hanya itu. Apa aku terlalu egois? Beberapa waktu lalu, Rai pernah mengatakannya. Dia mengetahui perasaanku kepadanya, setelah itu, dia mengungkapkan perasaannya kepadaku; dia menyukaiku, tapi hanya sekedar itu. Entah apa maksudnya mengatakan hal itu kepadaku? Karena setelahnya, ia menjauh. Menghilang bagai mentari yang tertelan malam. Menyisakan kegelapan Dan kedinginan di relung hatiku yang terdalam. Dan sekarang? Ia tepat dihadapanku, tapi tidak kunjung dapat aku sentuh. Tidak pernah bisa aku gapai. Bahkan untuk membuatnya bicara rasanya mustahil, apalagi untuk membuatnya membalas rasa dihatiku.

Tanpa terasa, sudah satu jam aku, Mira, Dan Rai menunggu tanpa kepastian.
"Temen lo udah dimana?" Tanyaku, pada Rai.
"Gatau nih.. Dia belom bales lagi." Ucapnya, masih sibuk dengan ponselnya.
"Aduh!" Gumam Rai, kemudian.
"Kenapa?" Tanyaku, sedikit menyelidik.
"Pulsa gua abis." Jawabnya, agak malu.
"Yaudah, nih." Aku mengulurkan tanganku, memberikan ponsel kecil yang sedari tadi hanya aku genggam, tanpa melakukan apa-apa. Rai tidak melakukan apa-apa. Dia hanya melihat ponselku ditanganku, lalu memandangku sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Pake aja dulu. Pulsa lu abis kan? Gua masih ada." Ucapku, seakan mengerti apa yang ada dibenaknya. Dengan ragu, Rai mengambil ponsel ditanganku, Dan mulai mengetik. Aku yang tidak mau mengganggu Rai, segera bangkit Dan menjauh. Aku mendekati kaca pembatas, didekat eskalator. Melihat ke bawah, sambil sesekali bersenandung, entah lagi apa.
"Nih.." Sebuah tangan menghampiriku, memberikan ponselku kembali. "Makasih ya." Ujar Rai, setelahnya.
"Udah? Mau pinjem lagi nggak?"
"Nggak usah, makasih." Ucapku, sambil tersenyum. Melihat senyumnya, jantungku kembali berpacu. Sebisa mungkin kualihkan pandanganku. Salah tingkah. Selalu itu yang aku lakukan setiap kali didekatnya. Lebih baik menjauh. Ucapku dalam hati, diikuti derap langkah terburu-buru untuk kembali ke tempat duduk. Meninggalkan Rai sendirian, tanpa pamit.
"Kok lu ke sini sih?" Tanya Mira ketika melihatku kembali duduk disebelahnya.
"Ya terus?" Jawabku, sekenanya.
"Kayanya tadi dia mau ngomong sesuatu deh sama lo." Ucap Mira, serius.
"Masa?" Jawabku acuh tak acuh. Kontras dengan gemuruh didalm dadaku.
"Ya lu mikir aja. Ngapain dia jauh-jauh Dari jaksel ke bekasi Kalo bukan gara-gara hal penting buat diomongin ke elu?!" Kali ini, Mira benar-benar serius. Matanya menatap lurus arahku. Menikam, bagaikan pisau. Mira benar. Pasti ada sesuatu. Sejujurnya, aku juga penasaran dengan alasan Rai yang tiba-tiba datang, setelah kepergiannya yang tanpa kabar. Tapi, inilah aku dengan segala sikap pengecutku yang tak kunjung menyusut. Aku terlalu takut hanya untuk bertanya. Aku tidak bisa menahan diri, barang sebentar saja, ketika melihatnya tersenyum.

Singkat cerita, teman Rai akhirnya datang. Ia adalah adik kelasku sendiri. Faris. Rai Dan Faris yang menentukan film apa yang akan kami tonton, Dan pilihan mereka jatuh kepada film kartun komedi, Despicable Me 2. Aku Dan Mira diberikan dua buah tiket, seat 17 Dan 18. Dengan noraknya, aku meneriakkan "tujuh bekas" dengan suara keras. Entah mengapa, angka tersebut menjadi salah satu angka favoritku.
"Ini masih jam 3 filmnya. Gua sama Faris nyari pulsa dulu ya.." Ucap Rai. Aku mengangguk sambil tersenyum.
"Cari makan dulu yuk." Ucapku, mengajak Mira.
"Makan mulu kerjaan lu!" Ujar Mira, kontras dengan tindakannya. Meski terus menggerutu, Mira tetap ikut berjalan disampingku.

***

"Mir!!!!" Seruku, heboh sendiri.
"Apaan?" Jawab Mira, santai.
"Udah jam tiga!!"
"Seriusan?! Yaudah ayo cepet!" Tanpa banyak bicara, aku Dan Mira berlari secepat yang kami bisa ke arah bioskop. Jam tiga lewat Lima belas, kami baru sampai di depan pintu teater.
"Kursinya yang mana, Mir?" Ujarku, sambil terus memegangi lengan Mira. Kami sudah berada didalam teater yang gelap, tapi belum bertemu layar lebar. Jalanan yang cukup jauh Dan gelap, membuatku ngeri.
"Liat aja yang ada Rai-nya." Jawab Mira, cuek.
"Kalo dia belom dateng, gimana?" Tanyaku, masih khawatir.
"Ya.. Cari sendiri." Jawabnya, enteng. Mira. Makhluk paling tidak mau repot yang pernah aku kenal!

Aku Dan Mira terus berjalan, menyusuri gelapnya bioskop. Pencahayaan disini hanya sebatas proyektor yang menyinari layar lebar didepan kursi penonton.
"Itu Faris kan?" Ucap Mira, bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Mira menghampiri Faris yang duduk di kursi paling pinggir. Disebelahnya, ada Rai yang sedang asyik menonton. Aku melihat angka 17 terpampang di kursi sebelah Rai. Mataku melotot sesaat, kaget. Aku berjalan terlebih dahulu untuk masuk ke dalam barisan kursi, disusul Mira di belakangku. Ragu sempat menghinggapiku sesaat, tapi dengan cepat aku mengambil keputusan yang mungkin akan aku sesali seumur hidupku. Kursi nomor 17 kini tepat disampingku. Aku menguatkan hati, menarik nafas Dan memejamkan mata dengan cepat. Keputusanku sudah bulat. Aku melewati kursi nomor 17 Dan menghembuskan diri dikursi bernomor 18.
"Rin, yang nomor tujuh belas yang ini." Ucap Mira, sambil menunjuk kursi disebelah kiriku. Aku menoleh sebentar. Terlihat Rai yang juga menoleh ke arahku dengan ekspresi tidak terbaca.
"Yaudah sih!" Ucapku, geram, sambil menarik lengan Mira, sampai ia jatuh terduduk dikursi bernomor 17.

Film terus berlanjut tanpa henti, sesekali adegan lucu membuat penonton tertawa hahaha hihihi. Aku ikut tertawa, tapi tawaku sedikit berbeda. Dengan hati-hati, aku menoleh ke arah Rai yang terlihat sangat menikmati film ini. Air mukaku berubah sendu. Bodoh! Rutukku dalam hati. Menyesal. Satu kata yang bisa mendeskribsikan keaadaan naasku ini.
"Mau tukeran, Rin?" Tanya Mira, peduli. Aku hanya tersenyum. Perlahan, aku gerakkan kepalaku ke kanan Dan ke kiri.
"Gausah." Ucapku, penuh dusta. "Gua takut malah nggak konsen nonton Kalo deket-deket sama dia." Lanjutku, dengan tawa yang mengiringi. Memang benar apa yang aku katakan. Entah Apa maunya hati? Terasa hampa dikala jauh, namun juga tak bernyali untuk mendekati. Rai, adakah kamu merasakan penderitaan ini? Perang antara sisi hati yang bertolakan. Mira mengangguk, dia kembali menatap layar lebar didepan nya.
"Sekali-sekali lu harus buang ego lo." Ujar Mira pelan. Ego dia bilang. Ya.. Aku tau aku egois. Aku ingin, tapi tidak berani. Aku penasaran, tapi enggan bertanya.

Detik demi detik berlalu tanpa sedikitpun pernah kembali. Layar didepanku seakan menyaksikan kegundahan hatiku. Pikiranku sungguh bukan tertuju pada film komedi ini. Meski sesekali tertawa, sesekali memberi komentar, sesekali ikut terharu, tetapi pikiranku melayang. Rai. Lelaki itu semakin tidak tergapai. Sebentar lagi film akan berakhir, maka berakhir pula kebersamaan kami. Rai, sedetikpun bahkan aku tidak konsentrasi. Memikiranmu, memikirkan apa yang akan kau katakan.

Lampu bioskop perlahan menyala, menerangi ruangan dingin ini.
"Akhirnya selesai jugaa.." Seru Mira.
"Gua udah ditelponin umi gua nih. Balik yuk, Rin." Lanjutnya.
"Ayo." Jawabku, singkat. Aku memandangi Faris Dan Rai Dari belakang. Mereka berjalan ke arah yang berbeda, setelah berpamitan terlebih dahulu kepadaku Dan Mira. Aku pandangi punggung tegap yang semakin lama semakin jauh. Rai. Kamu jauh lagi. Kita terpisah lagi, Rai. Perlahan, Mira menggandeng tanganku, membawaku keluar Mall. Ke arah yang berbeda Dari Rai. Sampai jumpa. Semoga Allah tidak kapok mempertemukan kita.

Aku berjalan lunglai ke jalan raya, menunggu angkot, ditemani Mira disampingku. Ku hembuskan nafas dengan beratnya. Rai. Nama itu masih memenuhi otakku.
"Mir.." Aku mulai angkat bicara.
"Gua masih.. Penasaran." Ucapku, dengan suara pelan. Lemah Dan tertunduk, tak berdaya. Aku tau! Bukan saatnya aku mengatakan kata-kata itu. Semua terlambat? Ya! Aku tau! Tapi, aku masih berharap keajaiban datang. Rai. Mira tidak menanggapi, hanya decak kekesalan yang terlontar Dari mulutnya. Aku tau. Aku menyesal. Sekali lagi.. Aku tau.

***

"Dek! Udah sampe, woy!" Suara lembut dengan volume tinggi itu membangunkanku Dari tidurku. Mimpi itu. Mimpi tentang kenanganku bersama Rai beberapa waktu lalu. Sudah cukup lama. Tapi masih sukses menghantuiku dengan penyesalan tak bertepi.
"Ariiin.. Ini udah sampe. Mau pulang lagi?!" Kali ini giliran suara laki-laki yang terdengar. Suara kakakku. Aku bergumam pelan tanda bahwa aku sudah bangun.
"Cepet, dek."
"Iya.. Iyaa.. Ngusir banget sih." Ucapku, serak, sedikit kesal. Perlahan aku membersihkan sisa kotoran mata dimataku. Barulah setelahnya, aku buka pintu mobil dengan enggan. Berjalan ke belakang Mobil Dan membuka bagasi, sendirian!
"Woi! Bantuin kek!" Jeritku, kesal ketika melihat kakak laki-lakiku tidak bergerak Dari kursi.
"Yaelah.. Manja bener." Ucapnya, diiringi tawa. Ia membuka pintu Mobil disebelahnya Dan membantuku menurunkan Dan membawa barang-barangku ke dalam kamar indekost

Setelah semua barang-barangku didalam Mobil sudah berpindah tempat ke dalam kamar, kakakku berpamitan untuk pulang. Aku memaksakan seulas senyuman dibibir, sambil mengantarnya sampai ke pagar.
"Belajar yang bener, ya!" Ucapnya, sambil mengacak lembut puncak kepalaku. Rasa kantuk yang masih menghantuiku, membuatku enggan berbicara. Aku hanya tersenyum, sambil menaikkan kedua alisku setinggi-tingginya, Dan menyipitkan mataku sedatar-datarnya. Kelakuan yang selalu sukses membuat keluargaku kesal Dan mengacak-acak permukaan wajahku.
"Jelek ish!" Desisnya, sambil menutup wajahku dengan sebelah telapak tangannya yang besar.
"Ish!" Aku menggerutu, seraya menepis tangan kekar itu Dari wajahku. Senyuman tulus terpancar Dari wajah kami berdua. Kakakku berjalan memasuki Mobil, melakukan starter, Dan menjalankan Mobil. Aku masih melambaikan tangan, sampai akhirnya Mobil putih keliatan Nissan itu hilang ditelan tikungan jalan.

---

😊😀 jeng.. Jreng!! Gimana? Gimana?? Saran Dan masukannya ditunggu banget loohh 😄

Selasa, 23 Februari 2016

Candy Crush (bagian 3)

"Dia orangnya gimana sih, Rin? Tinggi apa pendek?" Tanya Mira. Tersirat khawatir disana.
"Dulu sih pendek. Gatau sekarang. Kata temennya, udah tinggi dia sekarang." Ucapku, tak kalah khawatir. Pasalnya, Dari tadi aku Dan Mira sama-sama belum menemukan sosok Rai di tempat ini. Selanjutnya, hanya sepi yang menghinggapi lisanku Dan Mira. Mira yang masih sibuk mencari, Dan aku? Mataku menangkap seseorang yang aku kenali. Seseorang yang lama tidak aku jumpai.
"Rai?" Gumamku. Mira menoleh ke arah pandangan mataku. Diam, tidak bicara. Entah apa yang ada di pikiran Mira Dan Rai saat ini. Rai. Kali ini aku mengucapkannya dalam hati. Wajah itu tidak banyak berubah. Hanya sedikit garis kedewasaan yang terbentuk diwajahnya. Kerutan didahinya samar-samar terlihat. Wajahnya menoleh ke kanan Dan ke kiri. Dia mencari sesuatu. Ketika sadar dia belum menemukan aku Dan Mira, aku mengangkat tangan tinggi-tinggi. Beberapa saat kemudian, Rai menangkap sinyal dariku. Dia tersenyum.

Senyumnya bahkan tidak berubah. Senyuman tanpa emosi. Ah.. Bukan! Bukan tanpa emosi, tentu ada emosi di balik senyuman datar itu. Tapi entah apa, aku tidak tahu. Senyuman itu masih merekah dia wajahnya. Dingin dan manis. Benar-benar masih sama, perpaduan yang sempurna. Seperti ice cream. Perlahan, Rai menghampiriku. Semakin dekat, Dan semakin dekat. Debar jantungku meningkat teratur seiring langkahnya yang semakin dekat.
"Hei.." Sapaku, singkat. Atmosphere diantara aku Dan Rai berubah seketika. Awkward.
"Lama nggak ketemu." Ucapnya. Keheningan menyapa. Banyak kata yang ingin aku sampaikan.
Rai.. Aku kangen..
Rai.. Kamu kemana aja?
Rai.. Apa kabar?
Rai.. Gimana sekolah kamu? Orang tua kamu? Adik-adik kamu?
Dan masih banyak lagi pertanyaan yang ingin aku tanyakan kepadanya. Tak akan ada habisnya pertanyaan untukmu, Rai. Tapi seakan semua itu lenyap. Semua yang aku rasakan hanya kebahagiaan yang meluap-luap. Bahkan untuk bersorak gembira pun rasanya tak mampu. Lama kami berpandangan. Tak ada kata yang terucap. Hanya bisu yang mewakilkan rinduku untuknya. Entah bagaimana Dari sisinya.
"Woi! Nanti aja bengongnya! Sekarang mau kemana nih? Udah siang, panas pula. Gua juga nggak boleh pulang sore-sore sama umi gua." Terdengar suara Mira yang memecah keheningan, sekaligus membawaku tersadar Dari alam mimpi.
"Oiya.. Rai, ini Mira sohib gua yang tingkat kewarasannya agak diragukan. Dan Mir, ini Rai." Ucapku, cepat. Mira, seseorang yang mengenalku dengan baik, pasti menyadari ada kegugupan dalam nada bicaraku. Mira Dan Rai tidak bersalaman. Bukan mahrom!

Aku, Mira, dan Rai kini berada di bawah teduhnya pohon ditepi jalan. Menunggu angkot dengan nomor tertentu yang akan mengantar kami ke salah satu Mall besar di Bekasi. Mira meminta untuk ditemani mencari Al-Qur'an di toko buku, karena saat menanyakan aku Dan Rai ingin pergi kemana, kami berdua sama-sama tidak tahu. Lama kami menunggu. Hawa panas menjalar di sekujur tubuhku, memacu keringat untuk keluar Dari pori-pori kulit. Aku Dan Mira asik bercengkrama berdua, tanpa melibatkan Rai. Rasa gugup Dan canggung masih singgah dalam diriku. Membuatku tidak berani berkata-kata kepada Rai. Maafkan aku Rai. Andai saja kamu tau bahwa banyak kata yang tidak mampu lisan ini ucapkan. Banyak rasa yang tidak bisa diri ini ungkapkan. Hanya hati, satu-satunya saksi bisu yang turut merasakan. Juga mata, yang sesekali melirik, tanpa berani menoleh Dan memandang secara terang-terangan.
"Rin! Itu angkotnya. Ayo cepet!" Lagi-lagi Mira! Terkutuklah kau sobat, karena telah mengganggu lamunanku untuk ke sekian kalinya.

Bergegas aku, Mira, Dan Rai menaiki angkot. Aku segera menempati kursi paling pojok, didekat jendela paling belakang, Dan mengajak Mira duduk disampingku. Dan Rai? Oh sial! Dia malah duduk di depanku. Mataku membulat Samar. Kaget Dan gugup, itulah yang aku rasakan saat ini. Kenapa Rai? Kenapa kamu harus duduk di depanku. Salah tingkah aku dibuatnya. Rai memang tidak melakukan apapun. Tidak menyentuh, tidak juga menggoda. Dia hanya tersenyum Samar Dan terkadang bertemu pandang denganku. Namun, lagi-lagi itu sudah cukup membuatku bingung harus berbuat apa. Aku putuskan memandang langit Dan jalanan Dari balik kata belakang Mobil. Beberapa kali bibirku mengucap "aduh" tanpa suara setiap kali tertangkap mencuri pandang ke arah Rai. Sedangkan makhluk aneh disebelahku, Mira, sesekali tertawa dengan alasan yang belum ingin dia ungkapkan.
"Nanti dah.." Ucapnya, setiap Kali ditanya "kenapa?"

Beberapa menit kemudian, Mobil angkot yang kami tumpangi menepi di dekat Mall Metropolitan; salah satu Mall besar di Kota Bekasi saat itu. Mall ini sangat populer saat itu. Remaja maupun dewasa beramai-ramai datang ke Mall ini untuk berbagai tujuan. Dari mulai belanja bulanan, kencan, makan siang, atau bahkan sekedar melihat-lihat. Aku Dan Mira langsung berjalan menuju toko buku yang berada di lantai 4. Toko buku yang kami maksud hanya berada di Mall ini, di bekasi. Disusul oleh Rai di belakang, aku Dan Mira berjalan santai sambil sesekali mengagumi pernak-pernik yang dijual di Mall ini. Sesampainya di toko buku, aku Dan Mira menghambur ke rak buku yang dipenuhi berbagai bentuk kitab suci Al-Qur'an. Sedangkan Rai berjalan ke arah lain. Dia terlihat lebih memilih berjalan ke arah rak buku tentang Pertanian Dan buku-buku motivasi. Rai pernah bercerita kepadaku, dia Ingin melanjutkan studi ke Jepang.
"Ya.. Aku pingin aja belajar disana. Menurutku Jepang adalah Negri yang hebat. Kamu tau kan keadaan air disana gimana? Yang jelas air di Indonesia itu lebih banyak kan? Nah.. Tapi kenapa kualitas beras mereka jauh lebih bagus Dari beras kita? Disitulah aku ingin belajar Dari mereka. Aku ingin memajukan Pertanian Indonesia." Jelas Rai, ditelpon beberapa waktu lalu.

Aku terus memperhatikan Rai. Kemanapun ia pergi, apa yang ia baca, bahkan ekspresi wajahnya. Satu hal yang lama tidak aku lakukan. Setelah kami berdua lulus dari bangku SMP, aku Dan dia seakan terpisah di dua dunia yang berbeda. Tapi saat ini? Ya Allah.. Maafkan aku yang terlalu bahagia untuk sekedar melihatnya. Maafkan aku yang terlalu nyaman karna hanya sekedar berada di satu ruangan berukuran besar dengannya. Maafkan aku yang selalu terpesona melihat senyumnya. Maafkan hamba-Mu yang lemah ini Ya Rabb..
"Rin!?" Mira, untuk ke sekian kalinya ia mengejutkanku, membawaku ke dunia nyata.
"Apa sih Miiir?" Ucapku, geram.
"Lu Dari tadi diajak ngomong bengong mulu lagian." Jawabnya, tidak kalah geram. Aku menghela nafas sesaat.
"Ya.. Sorry deh mir." Ucapku, tulus.
"Lu Kalo terpesona sama Rai gausah segitunya juga Kali, Rin." Sontak, mataku membulat mendengar perkataan Mira yang satu ini. Rai. Semoga Rai tidak mendengar perkataan Mira. Atau.. Semoga Rai tidak tersedak karena dirinya dibicarakan oleh wanita tidak tahu malu dihadapanku ini.
"Apa sih, Mir?! Nggak!" Ucapku pelan, namun ada tekanan didalamnya. Mira hanya tersenyum penuh arti menanggapi perkataanku.
"Seriusan!" Ucapku. Mira kembali tersenyum licik. Aku yang melihatnya tak sanggup menahan senyum, yang kemudian menjadi tawa.
"Dasar lo!" Ucap Mira, puas.
"Yaudah ah. Mending sekarang lu nyariin gua Qur'an yang PW." Lanjut Mira, matanya kini tertuju pada rak buku yang terisi penuh Al-Qur'an.
"Mau yang model kaya gimana? Resleting? Yang kecil apa yang gede? Apa mau Qur'an hafalan?" Aku menanggapi sambil melihat-lihat berbagai bentuk Al-Qur'an di toko buku ini. Percakapan antara aku Dan Mira masih terus berlanjut. Aku Dan Mira memang mempunyai penyakit yang sejenis; selective! Ya.. Meskipun aku tau jelas, penyakit selective yang aku miliki jauh lebih akut. Dengan sabar, aku memberikan pilihan alternatif jenis Dan bentuk Al-Qur'an untuk Mira. Tidak jarang ikut memaparkan keunggulan Dan kelemahan dari setiap jenisnya.
"Rin, lu emang pantes dah jadi guide." Ucap Mira saat sudah memantabkan pilihannya. Aku hanya tersenyum kecut sambil menyipitkan mataku Dan menggeser bola mataku ke satu arah yang sama. Mira tertawa melihat kelakuanku, aku hanya ikut tersenyum manis.

Seperti tersadar akan sesuatu, aku segera menengok ke belakang. Rai?! Dia tidak lagi ditempatnya. Dia tidak ada di rak buku bagian Pertanian Dan motivasi. Seperti tidak percaya, aku berlari menghampiri tempatnya semula.
"Mir!" Ucapku, tidak bisa menyembunyikan kepanikanku.
"Kok dia ilang?!" Tanyaku lagi, masih dengan rasa panik yang mengganggu. Aku menengok ke kanan Dan ke kiri.
"Tadi dia disini, kan?" Ucapku, berusaha meyakinkan diriku sendiri. Rasa sesak mulai merayapi dadaku. Aku takut. Aku tidak mengerti kenapa, tapi aku takut. Entahlah. Kehilangan sosoknya seakan akan membuatku kehilangan hidup. Tapi ada rasa yang berbeda disebagian hatiku. Rasa yang berlawanan dengan rasa sakit yang saat ini dominan. Rasa yang membuat sebagian diriku merasa tenang; rasa percaya. Aku percaya Rai tidak akan pergi. Aku percaya Rai tidak akan meninggalkanku tanpa sebab dan pamit. Rai.. Kamu dimana?
"Eh, itu dia Rin!" Seru Mira. Aku menoleh ke arah pandangan Mira. Rai baru saja keluar dari lorong antara dua rak buku dengan ukuran besar. Mungkin itu sebabnya ia tidak terlihat tadi.l
"Kenapa Rin?" Tanya Rai. Wajahnya menyiratkan ekspresi seperti habis dituduh. Aku diam sesaat. Seakan tak percaya dengan sosok yang kini berada di depanku. Meyakinkan diriku, bahwa laki-laki ini adalah Rai, dia tidak hilang! Dia disini, di dekatku. Aku tersadar, lalu tersenyum tipis. Lega. Hanya itu perasaan yang menguasaiku. Aku menghembuskan nafas yang sejak tadi kutahan, tanpa sadar.
Aku seneng kamu disini, Rai. Plis jangan pergi lagi. Jangan pernah. Ucapku dalam hati. Tapi aku tau pasti, mataku telah meneriakkannya. Andai Rai bisa membaca arti Dari sorot mataku saat ini. Andai Rai bisa mendengar jeritan haru Dari hatiku saat ini. Sungguh, aku sangat mengharapkannya. Hal mustahil yang tidak akan pernah terjadi. Disisi lain, aku bahagia karena Rai tidak mendengar ataupun membaca isi hatiku. Biarlah, Rai. Biarlah ini menjadi rahasiaku. Biarlah aku yang merasakan semua ini.
"Nonton yuk?" Rai angkat bicara. Aku menaikkan sebelah alisku, tidak percaya dengan apa yang aku dengar.
"Gua yang traktir!" Seru Rai. TRAKTIR?
"Ayo!" Seruku, heboh. Rai. Maafkan kelakuan gadis lugu didepanmu ini, ya? Aku tidak bisa menahan diri ketika mendengar kata-kata semacam itu.

---

Daann.. Jadilah hari ini gua curhat (lagi). Semoga blog ini ada yang baca. Amiin. Hehehe 😂😂😂

Candy crush (bagian 2)

2016. Harusnya tahun ini Rai akan menjalankan UN. Ah.. Iyaa.. Sebelumnya, kalian harus tahu. Rai SMA di sebuah pondok pesantren yang mewajibkan santrinya untuk bersekolah selama 4 tahun. Sedangkan aku? Aku justru mempercepat masa SMA ku, hanya 2 tahun. Jadilah aku Dan Rai terpaut 2 tahun jarak kelulusan.
Rai..
Rai.. dan
Rai..

Secepatanya kututup buku kecil ditanganku, Dan menyimpannya jauh di dalam lemariku. Ditempat tergelap Dan tak tergapai. Tempat yang sebaiknya segera aku lupakan. Agar kelak buku kecil itu menghilang, dengan Harapan membawa ingatanku tentang orang yang selalu ku torehkan namanya didalamnya. Rai.

Aku melanjutkan aktivitas beres-beres Dan segera berpakaian, menghampiri salah satu kakak lelakiku yang paling benci menunggu.
"Cepet, dek!" Terdengar lagi teriakannya Dari luar rumah. "Lagian bukannya dari tadi siap-siapnya. Udah jam berapa nih? Aduuhh.. Macet deh pasti!" Dan masih banyak lagi kata-katanya yang tidak ingin aku ambil pusing. Dia memang begitu. Sosok seorang kakak yang selalu memperlihatkan kasih sayangnya dengan amarah yang meluap-luap. Kadang aku merasa tidak ingin bertemu dengannya karena sikap pemarahnya yang berlebihan, terutama urusan macet. Duh.. Dia memang paling ogah dengan hal yang satu itu. Dia adalah makhluk paling on time Dari semua keluargaku. Dan macet, adalah musuh bebuyutannya yang tak akan termaafkan baginya.

Dan disinilah aku sekarang. Didalam Mobil, diam, tak bicara. Sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang pendiam. Hanya saja, aku agak kesulitan setiap Kali memulai pembicaraan. Tapi, ketika sudah ada sath Tema pembicaraan yang klop, aku pasti tidak bisa diam! Itulah sebabnya aku tidak memiliki banyak teman. Tapi, kalau sudah ada teman yang 'mengenal' pribadi ku, mereka pastilah orang-orang yang sangat dekat.

Aku menyandarkan tubuhku di kursi penumpang. Kakakku, mas Salim, Dan istrinya asik bercengkrama tentang berbagai Tema. Sedang aku hanya diam, memjamkan mata sambil tetap memegang ponsel ditanganku. Sesekali ponsel itu bergetar, tapi tidak aku gubris. Pasalnya, aku adalah makhluk tuhan yang sesungguhnya tidak tahan membaca saat naik Mobil. Jika dipaksakan, nantinya akan terjadi satu hal yang sangat dibenci saudara-saudaraku; mabuk darat, muntah! Mungkin itu sebabnya aku selalu sibuk memakai headset atau ngotot menyalakan mp3 maupun radio saat di mobil, untuk menghilangkan sedikit penat karena tidak bisa bermain gadget pastinya.

Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Melewati berbagai macam bangunan di Kota bekasi. Mulai Dari rumah-rumah, sekolah, hingga tiba saatnya kemacetan di depan beberapa Mall yang di Kota ini. Pandanganku terpaku pada gedung Mall yang tidak terlalu besar, Bekasi Cyber Park. Perlahan, seulas senyuman tipis terbentuk dibibirku. Masih nyata teringat di memori otakku, kejadian manis yang terjadi di Mall besar ini. Kejadian yang rasanya masih sulit untuk aku percaya sudah terjadi. Kejadian yang menjadi awal, sekaligus akhir segalanya. Dan segalanya, bagiku, bukanlah hal yang sedikit. Beberapa detik setelahnya, wajahku benar-benar belum menoleh Dari jendela, perlahan mataku terpejam. Fikiranku melayang, bersamaan dengan separuh ruh dalam tubuhku. Gerbang melayang ke waktubyang sudah berlalu. Meskipun bukan kenyataan, meskipun sekedar mimpi, senyum itu masih mengembang. Perasaan itu masih sama. Debaran yang belum berkurang. Sama, seperti beberapa waktu lalu. Ketika jantungku berpacu begitu cepat karena kegembiraan. Ketika nafasku tercekat karena ketidakpercayaan. Ketika mata itu, akhirnya kembali bertemu denganku. Beberapa waktu lalu.

***

Seriusan Mir?!!

Sent.

Masih tidak terpacaya, aku kembali membaca pesan singkat yang dikirim oleh sahabatku, Mira. Nama lengkapnya MIRANI. guru-guru di SMA sering terpeleset mengucapkan namaku, Marina, dengan nama Mirani. Padahal berkali-kali kami jelaskan, cukup panggil aku Arin Dan dia Mira. Tapi bukan guru namanya bila lebih menurut perkataan muridnya.

Seriusan gua Rin. Ngapain juga sih gua boong. Nih.. Malahan dia SMS lagi, katanya udh OTW!

Aku terbelalak kaget. Ini seperti mimpi di siang bolong! Tidak! Bukan siang bolong! Karena tadi aku melihat jarum jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Aku membaca kembali pesan-pesan Mira sebelumnya. Sama sekali belum percaya.

Rin, katanya Rai mau dateng!

Ya ke Bekasi laahh.. Tapi dia gatau jalan. Makanya minta di Jemputin di stasiun Bekasi.

Dan beberapa pesan lain yang isinya meyakinkanku bahwa Mira tidak bohong. Sekali lagi, aku masih tidak percaya. Tapi aku memutuskan melangkahkan kakiku ke kamar mandi, melaksanakan kegiatan terlarang bagiku untuk dikerjakan dihari Minggu; MANDI. Aku Mandi dengan sangat khusuk. Berkali-kali aku gosok semua permukaan kulitku, sampai yakin tidak ada sisa sabun yang membekas. Berkali-kali aku hirup aroma tubuhku, sampai yakin sudah tidak ada bau bantal alias iler. Tapi kerusuhanku belum selesai. Aku berlari ke kamar Dan buru-buru memakai lotion ke seluruh tubuh, memakai kaos pendek dan.. Tibalah saatnya! Saat paling rumpi yang akan aku lakukan. Pintu lemari sudah terbuka, manampilkan beberapa tumpuk baju, celana Dan rok yang tidak banyak. Sedang baju-baju yang tergantung hanyalah baju-baju seragam sekolah Dan dress yang akan aku kenakan saat acara-acara resmi saja. Kondangan, misalnya. Disinilah aku. Menghadapi keadaan dimana aku harus berhasil mix and match baju-baju sederhana yang aku miliki, menjadi sesuatu yang Cantik Dan memesona. Berkali-kali aku mengambil baju dengan bawahan yang kemudian aku cocokkan dengan tubuhku didepan cermin. Tapi tidak ada yang membuatku merasa sreg. Sampai akhirnya aku menemukan kaos cokelat tua yang terlihat manis. Aha! Aku langsung mengingat bahwa kakakku punya rok batik lucu berwarna biru dengan corak cokelat. Pasti cocok! Pikirku. Segera, setelahnya aku berlari ke arah pintu kamar kakak perempuanku Dan mengambil rok batik biru barunya yang ada dilemari, seenak idung, kemudian mengenakannya. Aku mematut diriku didepan kaca kamarku, sesaat, kemudia n tersenyum puas.

Setelah menghambur-hamburkan bedak bayi milik keponakanku Dan menepuk-nepuk bedak yang tersisa di tanganku ke wajahku, aku berniat menghubungi Mira sebentar untuk menanyakan perihal tempat pertemuan mereka. Aku dan Mira memang sepakat akan menjemput Rai berdua, karena nyaliku terlalu ciut kalau diminta menjemput Rai sendirian. Lagi pula, aku tidak tau harus naik apa untuk sampai di stasiun Bekasi. Baru saja ingin melihat ponselku, tiba-tiba mataku terbelalak kaget. Ponselku tidak ada di meja! Lalu dimana?! Mataku jelalatan melihat seisi kamar yang ternyata, bisa dikatakan, seperti kapal pecah. Baju berserakan dimana-mana. Bedak bertaburan dilantai, handuk di tempat tidur, belum lagi selimut, sprei dan bantal-guling yang belum sempat aku rapikan. Mataku semakin membuat, ditambah dengan bibirku yang ikut-ikut membentuk huruf O.
"NO!" Desisku.
"Plis jangan bilang gua harus rapihin kamar dulu baru HP gua ketemu!?" Ucapku, sambil menari rambutku, frustasi. Tapi percuma, tidak ada gunanaya. Sekarang bukan waktunya mengeluh! Perlahan, sedikit demi sedikit aku angkat baju-baju yang berantakan Dan memasukkannya ke dalam lemariku. Selanjutnya, handuk basah diatas kasurku segera aku jemur. Barulah setelahnya aku bereskan tempat tidurku. Tepat saat mengangkat bantal terakhir, ponsel kecil dengan layar sentuh ukuran 3,2 inchi itu ditemukan! Fyuuh..
"Nggak lagi-lagi deh gua silent hp pas lagi dirumah gini." Ucapku, datar, sambil membuka pesan-pesan Dari Mira. Dia sudah mencariku. Keliatannya sudah tidak sabar. Apakah Rai sudah datang? Oh tidak!

Mir, ini gua baru OTW. Kenapa? Rai udh nyampe? Bilang tunggu gituu!!

Sent.

Aku tidak berbong ketika mengatakan aku sudah on the way. Karena kenyataannya, aku mengetikkan sms itu sambil berjalan menyampar jilbab bergi di atas kursi dan sepatu sneakers berwarna putih-cokelat di rak sepatu. Keduanya aku kenakan berbarengan sambil berjalan. Mungkin ini yang disebut sebagai "The Power of Buru-buru."

Aku berjalan secepat yang aku bisa sebelum akhirnya aku masuk ke dalam angkot. Gerah bukan main! Jarak Dari rumah ke pangkalan angkot memang tidak terlalu jauh, tapi jika ditambah dengan matahari yang panas, ya.. cukup membuatku sangat berkeringat dan tidak nyaman karena ketiak basah. Ewh. Baik, lupakan soal keringat, dan coba cek keadaan Mira. Sejak SMS terakhir sebelum aku berangkat tadi, aku belum juga melihat ponselku yang belum juga aku ganti Dari mode silent. Aku tekan tomboh kecil diatas ponsel, membuat ponselku menyala, menampilkan pemberitahuan tentang sebuah SMS yang belum dibaca. Dari Mira.

Kagak. Belom. Lo udh dmna? Klo udh deket bilang ya.. Biar lu gausah ke rmh gua. Ketemuan aja d jalan raya dkt rmh gua

Jeng.. Jeng!! Surprise! Aku sudah berjalan terburu-buru Dan ternyata Rai belum sampai. Sempurna!

-_-

Aku mengetikkan sebuah emot yang mewakili emosiku saat ini. Tapi saat hendak menekan tomboh send, aku urungkan niatku. Boros pulsa! Ucapku dalam hati.

***

Setelah perjalanan panjang nan mendebarkan dengan menggunakan angkot, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Jalan raya dekat rumah Mira. Aku sudah mengirimkan SMS kepadanya, sesaat sebelum angkot sampai ditempat tujuan. Jadi, saat ini aku sudah disuguhi muka Mira yang terlihat agak malas menemaniku menemui Rai.
"Yuk, Mir! Kita naik angkot apa nih?" seruku, dengan antusiasme tingkat melebihi dewa.
"Nyebrang dulu Kali ah!" Ucap Mira, sewot. Aku tertawa kecil melihatnya. Dengan logat betawinya yang kental, Mira emang ga pernah berhasil "marah" kepada siapapun. Karena siapapun yang dimarahi Mira, justru akan tertawa saat mendengar logatnya.
"Yaelah Mir.. Sewot amat." Ucapku, meledek tidak tahu diri.
"Rin! Gila lo mau mati apa ya?" Tiba-tiba Mira menarikku dengan sigap. Inilah salah satu kebiasaan burukku; tidak pandai menyebrang jalan, tetapi jika ada teman yang suka rela menuntun, malah bercanda Dan tidak memperhatikan jalan sama sekali. Tadi hampir saja aku terserempet angkot yang tidak mau mengalah. Malah mengucap sumpah serapah, saat gagal menabrakku.
"Supir angkot jaman sekarang emang udah nggak ada yang waras! Orang pengen nyebrang bukannya ngerem, malah tancep gas. Segala ngata-ngatain pula!" Aku ngedumel, kesal, dengan nada sepelan mungkin. Tapi emang orang lagi sensi Kali ya? Telinga Mira masih saja mendengarku dan membalikkan omonganku.
"Elu yang kagak waras. Orang nyebrang bukannya ati-ati malah becandaan! Bocah mablang emang." Sontak, aku tertawa saat mendengar Mira mengucapkan kata mablang yang entah apa artinya. Rindu rasanya mendengar kata itu.

Mira yang sebenarnya sudah pindah sekolah sejak hampir satu bulan lalu, membuatku merindukan sebagian besar Dari dirinya. Mira, yang merupakan anak Dari salah satu pengurus Tata Usaha dinsekolahku, membuat aku, Mira, Uti, Dan juga Asih, teman-temanku yang kurang waras, sering bermain didalam ruang TU. Melakukan aksi gila yang tidak semestinya dilakukan murid SMA kelas 1, junior! Kadang kami menggoda Pak Zainal, ayah Mira, dengan menanyakan kenapa SPP tidak kunjung turun, atau meminta untuk mencicil SPP dengan ancaman akan menculik Mira. Tapi sungguh, itu hanya sebuah candaan. Pak Zainal yang tidak kalah lucu dengan anaknya, Mira, selalu menanggapi candaan kami dengan kata-katanya Segar yang menghibur. Uti yang sering mengajak kami bermain ke ruang TU untuk mendinginkan suhu tubuh dan berceloteh akan membawa AC TU ke ruang kelas agar kelas kami tidak panas Dan kami tidak perlu repot-repot ke sini untuk sekedar ngadem. Dengan kelakuan-kelakuan kami yang ajaib, seketika membuat Mira menciptakan kosa kata pencelaan terbaru, yaitu mablang. Entah apa artinya, tidak ada yang tahu, bahkan sampai detik ini.

"Kiri bang!" Seru Mira. Melamun tentang masa-masa bersama Mira, membuatku tidak sadar kalau sekarang sudah aku Dan Mira sudah sampai d stasiun Bekasi. Mataku langsung jelalatan mencari sosok laki-laki yang sudah lama tidak aku temui. Rai.
"Rai mana, Mir? Dia udah sampe apa belom sih?" Mataku, masih sambil mencari.
"Bentar, gua SMS dulu." Mira segera mengambil ponselnya Dan mengetikkan sebuah pesan singkat kepada Rai.
"Kenapa ga lo aja sih yang SMS? Pan udah gua kasih nomornya." Gerutu Mira, masih sambil sibuk mengadu jemarinya dengan tombol qwerty di ponselnya.
"Nggak deh.. Gua.. Masih belom berani." Ucapku, asal. Bukan itu alasannya! Aku tahu dan sadar betul dengan hal itu. Tapi jujur, akupun tidak tahu apa alesan yang sesungguhnya membebaniku, yang membuatku enggan untuk sekedar mengirimkan pesan singkat untuk Rai. Mataku sudah berkeliling, melihat-lihat sekeliling stasiun, mencari sosok lelaki bernama Rai. Tapi bayangannya pun tak terlihat. Sampai pandanganku kembali tertuju pada Mira. Gadis dengan tubuh berisi dengan tinggi yang melebihi tinggi badanku itu, masih asik mengadu kecepatan jarinya dengan keyboard qwerty di ponselnya. Sesekali senyumnya mengembang, matanya terpaku pada satu benda; layar ponselnya.
"Lo smsan sama siapa sih? Kok senyum-senyum gitu?" Ucapku, sambil berusaha melihat layar ponsel Mira.
"Kepo!" Sahutnya, singkat. Cepat cepat ia angkat tangannya yang menggenggam ponsel udara. Sialan. Aku meruncingkan bibirku. Tapi memang dasar anak kurang ajar nan sombong. Temannya yang sedaru tadi menjinjit Dan sesekali melompat untuk melihat layar ponselnya, malah dibiarkan begitu saja. Lelah, aku akhirnya menyerah. Memilih menggunakan kata-kata tajam daripada beradu fisik yang jelas aku kalah telak.
"Liat aja! Kalo gua udah tinggi, lu bakal nyesel!" Ucapku, sekenanya. Membuat Mira tertawa terbahak-bahak. Menyisakan rasa malu dihadapanku, karena punya teman yang rada-rada gesrek.
"Iyadahh.. Nanti kita liat aja kapan omongan lu itu terwujud!" Ucapnya, disela tawanya yang alay. Aku memalingkan muka. Malu, bercampur kesal. Ya.. Aku akui aku memang memiliki postur tubuh yang lebih pendek Dari sebagian besar remaja seusiaku. Terus kenapa? Toh mereka tidak akan terlihat tinggi bila tidak ada makhluk pendek nan imut sejenis diriku, bukan? Well.. Setidaknya itu satu-satunya kalimat yang bisa menghiburku disaat-saat seperti ini.
"Eh.. Eh.. Rin!" Tiba-tiba derai tawa Mira yang alay Dan berlebihan, hilang seketika! Lenyap tak tersisa! Terganti oleh ekspresi serius yang tulus. Membuat aku penasaran Dan melupakan tindak kriminal yang baru saja dilakukan Mira.
"Kenapa Mir?" Ucapku. Kaget, penasaran, khawatir, semua bercampur. Mira menurunkan tangannya Dan memperlihatkan layar ponselnya. Disana tertulis nama Rai sebagai pengirim, Dan sebaris kalimat dibawahnya yang membuat jantungku kembali berpacu. Isi pesan Rai, membuat aku Dan Mira refleks mengangkat kepala kapi Dan menyapu pemandangan stasiun Bekasi secara cepat Dan intens.

Gua udah sampe.

---

Well.. Sebenernya ini cuma bagian Dari Candy Crush bagian 1 yang gua penggal. Hehehe.. Sorry 😂😅

Minggu, 21 Februari 2016

Candy Crush (bagian 1)

Saat ini adalah beberapa jam sebelum keberangkatanku ke Bogor. Aku akan kembali melanjutkanp studi di salah satu Kota yang sempat mendapat adipura di Indonesia, setelah beberapa bulan berlibur di Rumah. Semua pakaian sudah rapi di dalam koper. Selimut, sprei, guling, semua sudah siap masuk ke dalam bagasi mobil. Semua hampir siap, kecuali pernak-pernik kecil yang saat ini sedang aku rapikan. Bros, pin, peniti, jarum pentul, alat make up, dan masih banyak lagi.
"Ditempatin di kotak kecil gitu kek, dek." Ucap kakakku yang sejak tadi sibuk memperhatikan ku yang mencoba membereskan barang-barang. Tanpa bicara, aku mencari sebuah kotak kecil. Dilemari? Tidak ada. Diatasnya? Pun tidak ada. Aha! Seketika, ingatanku muncul Dan membuatku memandangi ke laci kecil disudut kamar. Seingatku, disana pernah kuletakkan kotak kecil yang dulu aku sebut-sebut sebagai kotak harta karun.

Perlahan, aku membuka laci kecil yang entah kapan terakhir Kali aku menyentuhnya. Terlihat kotak kecil yang usang, kotak besi yang sebenarnya merupakan bekas kotak cokelat itu, terasa menyita perhatianku. Perlahan aku buka tutupnya yang agak keras. Memberika n efek sakit Dan denyutan lembut diujung-ujung kuku jariku. Ah.. Tapi syukurlah kuku-kukuku tidak patah. Sambil tersenyum, kuperhatikan kuku-kukuku mungil dijariku. Sedetik kemudian, aku tersadar, bukan itu hal terpenting saat ini. Perhatianku kembali tertuju pada kotak bekas cokelat di tanganku. Aku kembali berusaha membuka tutup kotak tersebut. Kali ini, membuka tutup kotak itu tidak sesulit sebelumnya. Dengan sekali tekanan, kotak itu sudah terbuka. Aku cukup terkejut melihat isinya yang dipenuhi sebuah buku Dan beberapa lembar kertas.

Aku menautkan kedua alisku, memperhatikan isi Dari kotak bekas cokelat di tanganku. Tanpa berpikir panjang, aku membawa kotak tersebut menuju kursi di sisi kamarku, Dan mendudukinya dengan posisi senyaman mungkin. Perlahan, kuambil buku kecil bergambar permen didalam kotak tersebut. Buku berukuran lebih kecil Dari kertas A5 itu membuatku penasaran. Sesaat, kuperhatikan buku itu. Terlihat usang Dan sedikit berdebu. Sisi-sisi kertasnya pun terlihat menguning. Setelah beberapa saat memperhatikan buku itu, rasa penasaran dalam diriku semakin tak terbendung. Aku mulai dengan membuka cover tebal Dari buku itu. Segera setelahnya, terlihat namaku tertera dihalaman pertama buku itu. Bibirku tak terasa terangkat Dari sisi kanan Dan kirinya, membentuk sebuah senyum simpul yang aku sendiri tidak bisa memaknainya. Tulisan tanganku terlihat seperti..

***

Sore itu, aku menuliskan satu kata yang sangat aku kenali; namaku sendiri, di atas kertas berwarna salem di buku kecil yang baru aku beli dengan uang tabunganku sendiri. Buku dengan cover bergambar beberapa permen berukuran besar Dan sebagian lainnya berukuran kecil, seperti diletakkan secara acak, dengan sepasang sepatu sneakers yang terlihat feminim di belakang permen-permen tadi. Aku tertarik dengan warna dasar biru lembut pada buku itu, dengan berbagai macam permen yang merupakan makanan kesukaanku. Dengan hati-hati, ku torehkan tinta berwarna hijau dengan glitter yang menyertainya. Usiaku saat itu 14 tahun. MARINA. Nama yang susah payah kutuliskan dengan Cantik, namun masih terlihat miring diatas kertas polos tanpa garis. Aku tersenyum simpul melihat hasil tulisanku. Tidak buruk. Pikirku. Sekali lagi, kubuka lembar pertama dalam buku kecilku yang manis. Kali ini setiap halamannya dilengkapi dengan garis-garis lurus yang dapat membantuku menulis dengan rapi, tanpa ada tragedi "naik-naik ke puncak gunung" seperti tulisan namaku dilbar sebelumnya.

Hai.. Teman baruku..
Satu kalimat pertama yang kutulis sebagai sapaan kepada buku kecilku. Perlahan jemariku menari, menorehkan tinta hijau dengan glitter lembut didalamnya, merangkai satu per satu kata menjadi kalimat bermakna. Cerita. Aku ceritakan pengalamanku hari itu diatas buku kecilku. Pengalaman, saat pertama Kali aku berjumpa dengannya. Tanpa sadar, senyumku mengembang ketika bayang seorang lelaki kecil nan imut muncul dibenakku. Sosok lelaki dengan senyuman manis sekaligus dingin. Perpaduan sempurna, seperti sebuah es krim. Membuatku ketagihan untuk melihat Dan melihatnya lagi. Membuatku selalu ingin mencuri-curi waktu untuk sekilas memandang.

Aku berjumpa dengannya beberapa bulan lalu. Ketika ia berjalan melewati jendela kamar asramaku, Dan tersenyum entah untuk siapa. Saat itu, tidak tahu bagaimana caranya, Dan apa alasannya, aku langsung yakin dia adalah laki-laki yang baik.

Saat itu, memang hanya sebatas itu. Aku ingat betul ketika ia berjalan ditemani ibunya, menuju ruang kepala sekolah. Tubuhnya yang pendek, wajahnya yg imut, membuatku menyimpulkan dia adalah murid SD yang sedang ingin menengok kakaknya yang mungkin bersekolah di sekolah yang sama denganku. Sekolah asrama, di daerah Jakarta Selatan. Tapi sore harinya, Allah seakan memberikan jawaban atas perkiraanku yang ternyata meleset. Di masjid, tepat setelah solat ashar berjama'ah, salah satu ustadz di sekolahku memperkenalkan seorang santri baru. Seorang ikhwan (laki-laki) yang berasal Dari Aceh.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap lelaki yang dimaksud ustadz sebagai santri baru. Sedikit terkejut, karna ternyata ikhwan baru di sekolahku adalah laki-laki yang tadinya aku kira adalah murid SD yang sedang mengunjungi kakaknya. Tapi sejujurnya, hampir semua teman perempuanku juga memikirkan hal yang sama. Bahkan saat ini, saat laki-laki itu berbicara dengan suara cempreng khas anak kecil, aku masih tidak percaya bahwa dia adalah murid SMP. Tidak ingin kalah argumen, aku kembali menyimpulkan bahwa ikhwan ini pastilah murid kelas 7. Setidaknya, tampang baby face seperti dia, pastilah belum lama lulus Dari sekolah dasar. Tapi lagi-lagi aku salah. Sebelumnya, ustadz sudah mengumumkan bahwa dia adalah murid kelas 8, yang artinya seumuran denganku. Aku Dan teman-temanku rasanya tidak habis pikir dengan kenyataan ini.
"Bocah kaya dia belom pantes dikelas delapan." Seru teman disebelahku, Aya. Aku hanya tertawa kecil, meski sejujurnya aku setuju dengannya.
"Nama saya..."ikhwan baru itu mulai melanjutkan perkenalan dirinya, ketika salamnya sudah dijawab oleh santri lain dengan kompak. Aku menyimak dengan antusias. Teman-teman disebelahku masih mempermasalahkan tampang ikhwan yang kini sibuk mencari perhatian audience untuk didengar, tapi aku berusaha mengabaikan mereka Dan fokus kepada ikhwan di depan.
"Ahmad Rizal, tapi biasa dipanggil Rai." Seketika, suasana menjadi semakin ricuh. Hampir semua santri membicarakan nama panggilan ikhwan baru tadi, yang jauh berbeda Dari nama lengkapnya.
"Hah? Kok Rai? Dari mana kata 'Rai' nya?"
"Kok ga nyambung banget"
"Dih.. Orang mah dipanggil Rizal aja kek."
Dan berbagai macam komentar lain Dari mulut-mulut santri dimasjid ini. Biar begitu, ikhwan baru tadi - maksudku, Rai- tetap melanjutkan perkenalan dirinya. Dari mulai asal daerah, Dan asal sekolah lamanya.
"Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Ucap Rai, santai. Sontqk semua orang menjawab salam penutup Dari Rai dengan kompak.
"W'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Setelahnya, kami diizinkan untuk bubar. Tapi tentu saja para ikhwan di depan sana mengambil kesempatan kebebasan ini untuk lebih mengenal sosok Rai. Rai.. Tanpa sadar, aku mendengus pendek. Unik. Desisku, sambil lalu.

***

Sederet memoriku seakan diputar didepan mataku, bak film dokumenter yang terus berulang. Pertemuan pertamaku dengan seorang laki-laki, yang tidak kusangka, masih singgah dihati. Hingga saat ini, ruang dihatiku seakan masih terkunci, dengan Rai yang terkurung, tak dapat pergi.

Tes..

Seakan tersadar Dari alam mimpi, air mataku menetes membasahi tanganku yang masih menggenggam erat buku kecilku. Cepat-cepat ku seka air mataku sebelum derainya semakin bertambah. Sebelum ada yang menyadari, bahwa ada seorang gadis yang terbawa emosi ketika dirinya tidak sengaja terseret dalam mesin waktu yang membawanya kembali. Kembali.. Ke masa disaat hatinya berteriak memberontak, meminta sang pemilik mengungkapkan rasa yang hatinya pendam. Masa.. Dimana diam adalah satu-satunya hal yang bisa dilakukan. Tidak ada pilihan. Hanya bisu yang bisa membisikkan rindu, menerbangkannya ke langit dengan Harapan angin akan membawanya ke tempat rindu itu tertuju. Rai.

Sosok lelaki rupawan yang lama tidak pernah ku lihat. Aku Dan Rai bukankah musuh, tapi juga tidak sedekat seorang sahabat. Entah sejak kapan aku menyimpan rasa yang berbeda untuknya. Tapi kejadian itu menambah jarak diantara kami, menyisakan ruang kosong yang tidak tersentuh. Aku dengan kesibukanku, Dan Rai? Entah bagaimana kabarnya kini. Aku menarik nafas panjang. Mencoba mengisi paru-paru dengan sebanyak mungkin udara yang dapat terhirup. Sakit itu datang lagi. Setelah sekian lama, ternyata ia masih ada. Menunggu dengan sabar hingga sang empunya perasaan kembali merasakan hadirnya. Sesak tiada bertepi. Bukan karena penyakit asma yang memang ku idap sejak bayi, tapi sesaknyang lain. Sesak yang sama seperti yang ku rasakan 3 tahun lalu.

Aku menggeleng keras. Mencoba menghilangkan fikiran yang akan membawaku kembali kepada kejadian 3 tahun lalu. Kejadian yang tidak ingin ku ingat lagi. Kejadian, yang kalau bisa, tidak pernah terjadi.

---

😊 pegel yaa ternyataaa nulis ginian doang. How how? Gimana nih pendapat kalian? Sejauh ini keren? Bagus? Atau keren banget? Atau bagus banget? Gua ngarep banget subscribe Dan comment kalian lohh..

Oiyaa.. Perlu temen-temen tau nihh.. Ini kisah nyata Lohh.. hihihii.. *just info*
Well.. Sampai jumpa besok lagi yaa.. Selamat bobo.. 😀😁

Candy Crush (prolog)

"Aku menyukaimu, Arin.." Ucap Rai diujung telpon. Seperti tersambar petir ditengah hari, seperti terguyur hujan ditengah terik mentari, seperti tenggelam dilautan permen manis, aku tidak bisa mendeskribsikan perasaanku saat itu. Jantungku bergemuruh, berdebar-debar dengan sangat cepat dan kencang. Mataku terbelalak tanpa kusadari. Senyuman manis terlukis Indah di wajahki. Rai, sosok laki-laki idamanku sejak aku masih duduk dibangku SMP, menyatakan perasaan suka kepadaku? Aku baru saja akan membuka mulutku Dan berteriak kegirangan, jika saja Rai tidak lagi berbicara..
"Tapi hanya sekedar itu." Ucap Rai, yang sukses membuatku menautkan kedua alisku, memikirkan maksud perkataan Rai.
"Aku suka kamu.. Hanya suka.. Bukan cinta." Jelas Rai, tanpa diminta. Kekecewaan seketika menghampiri mimpi indahku. Aku mulai mengerti maksud Rai.
"Rai.." Ucapnya lemah. Tapi hanya sampai disitu. Seakan tidak memgizinkanku untuk bicara, Rai memilih melanjutkan kata-katanya.
"Aku hanya ingin mengatakan itu. Biarpun aku menyukaimu, aku tidak ingin membuat hubungan denganmu. Rin, kita sama-sama tau pacaran itu tidak diizinkan oleh agama kita. Aku hanya ingin menjaga, baik kamu, maupun aku. Ibarat roti, kamu itu bagaikan roti yang ada di toko roti yang mahal. Kamu tertutup dan tidak bisa sembarangan orang menyentuhmu. Aku harap kamu bisa seperti itu. Aku harap kamu bisa mengerti." Ucapan Rai Kali ini cukup membuat hatiku mencelos. Perlahan, Aku menghembuskan nafas dengan berat Dan panjang. Perlahan, karna aku tidak mau Rai mendengar kepedihan dalam hembusan nafasku.
"Arin?" Ucap Rai, menyadarkanku ke dunia nyata.
"Ya .. Rai. Aku mengerti." Ucapku, pelan. Sebisa mungkin kusembunyikan kepedihan dalam nada suaraku. Sebisa mungkin kuhilangkan serak tertahan dalam suaraku. Sebisa mungkin, kutahan isakan tangis yang sesungguhnya berderai air mata.

Tidak lama kemudian aku dan Rai terputus dari jaringan telpon, karena azan ashar terdengar Dan kami harus segera menunaikan ibadah solat ashar kepada sang Maha Pemberi kesempatan. Tapi disini, aku tidak langsung menunaikan kewajibanku. Aku masih berdiri di balkon kamar, memandangi ponsel ditangan dengan tatapan kepedihan yang mendalam. Entah mengapa, hatiku bagai pecah menjadi bagian-bagian kecil. Rai. Kenapa ketika ia mengatakan bahwa ia menyukaiku, ia juga mengungkapkan kalimat perpisahan setelahnya. Ini sama saja seperti Rai membawaku ke atas awan, lalu mendorongku kembali ke bumi. Sakit. Jelas ini bukan karna Rai mengatakan bahwa ia tidak ingin menjalin hubungan cinta denganku, karna dari awal aku memang tidak ingin berpacaran. Satu-satunya hal yang membuatku begitu terpuruk adalah karna aku sadar, semua tidak akan sama. Tidak akan seindah saat aku mencintainya diam-diam tanpa ia ketahui, seperti sebelumnya. Tidak akan sama seperti saat aku yang selalu memperhatikannya tanpa dia sadari, seperti sebelumnya. Setelah ini, aku tahu semua akan semakin sulit. Semua tidak akan berjalan.. Seperti sebelumnya.